Postingan

1 Rasa, 2 Mimpi

"Rasa dan mimpi adalah sebuah anugerah. Namun jika salah satunya harus kau pilih, hal apa yang akan kau raih?" Pukul 07.00 pagi. Gadis itu terbangun dengan pemandangan putih di langit-langit kamarnya. Matanya mulai menelusuri satu persatu benda yang ada di sekitarnya. Sunyi. Suara yang didengarnya hanya berasal dari sebuah layar dengan garis-garis yang tampak bergerak naik turun, yang terus berkedip dan membunyikan dering yang tak kunjung berhenti. Ia dikelilingi oleh perabotan yang tertata rapi dan terlihat begitu bersih. Sebuah saluran dengan cairan putih mengalir di sisinya, tampak dikaitkan pada jarum yang menancap di tangannya.  Gadis itu mencoba menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala seseorang yang tampak tertidur di sebelahnya, namun tangan mungilnya terlalu kaku untuk meraihnya. Ia pun mencoba membuka mulutnya, namun yang keluar hanyalah erangan pelan yang terlalu parau untuk didengar. Ia bingung. Apa yang terjadi sebenarnya? Ia menggerakkan kakinya yang

Tentang Kenyamanan

Ketika kata “nyaman” terucap, hal apa yang pertama kali terlintas dipikiranmu? Apakah menikmati kasur yang luas dan empuk sendirian, lalu tenggelam dalam teksturnya yang begitu halus nan lembut? Atau.. membiarkan wajahmu tersapu hembusan angin yang semilir, lalu memejamkan mata dan membayangkan surga dunia? Atau mungkin.. sekedar menikmati cerita sahabatmu dan receh candanya yang berujung pada gelak tawa bersama? Nyatanya, kenyamanan itu bisa berarti banyak hal. Ia bukanlah sesuatu yang mutlak. Definisinya tersangkut pada perasaan dan hati yang terpaut di dalamnya. Parameternya terkadang tak pasti, hanya perlu disesuaikan dengan hati. Bagiku kenyamanan bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan. Kenyamanan dalam sebuah lingkungan terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk ku dapatkan. Satu hal yang kupercaya, setiap orang memiliki tembok pembatas antara dirinya dengan orang-orang di sekitarnya, dengan tinggi yang berbeda-beda.  Beberapa orang membiarkan temboknya

Ruang Sendiri

“Terkadang, kita membutuhkan ruang untuk sendiri. Bukan untuk menepi dan disiksa oleh sepi, melainkan untuk berdamai dengan diri sendiri.” Kriiingg… Kriiingg… Aku dibangunkan oleh bunyi alarmku yang memekakkan telinga. Pagi itu pukul 05.00, waktunya beribadah dan bersiap untuk pergi ke sekolah. Aku menggeliat malas dan mengerang pelan, “Ugh, aku benci sekolah.” Aku tahu, keluhan dan kebencian bukan sesuatu yang baik untuk mengawali hari. Namun apa boleh buat, aku sudah terbiasa sarapan dengan dua menu “favorit” ku itu.   Aku menyingkap selimutku yang berkerut tak karuan, menurunkan kaki dari kasur empukku, dan melangkah ke kamar mandi dengan langkah gontai. Aku memang tidak pernah bersahabat dengan pagi. Kicauan burung murai batu ayah setiap pagi bahkan terdengar bagai bel memuakkan yang tak merdu. Mentari yang mengintip dari balik gorden pun terlihat mengejekku, menyilaukan mataku yang jarang dihiasi oleh senyuman. Aku menatap datar tubuh jenjangku di depa

Satu Hari Penuh Cerita: Dari Pesisir Labuan Hingga Pantai Carita

Sabtu, 28 April 2018. Aku terbangun di sebuah bangku bus kampus, disambut oleh senyuman cerah sang mentari. Seorang teman seperjuangan di sebelahku pun tersenyum sumringah. Tampak senang bisa menikmati tidur malam yang cukup tanpa bayang-bayang laporan. Hmm, kenikmatan itu memang terkadang sederhana. Pukul enam kurang sepuluh, kami keluar dari bus dan melaksanakan sholat shubuh. Aku membasuh muka dengan air yang sedikit terasa asin. Maklum, sumber air dekat daerah pesisir memang begitu. Setelah melaksanakan sholat dan bersih-bersih, aku dan beberapa teman pergi ke sebuah aula untuk meletakkan barang bawaan. Di luar aula, tampak beberapa orang menunggu dengan raut muka sedikit jengkel. Ketika ditengok ke dalam aula, ternyata mereka menunggu teman-temanku yang berdandan dengan asyiknya. Maklum, namanya juga perempuan. Riasan wajah dengan berbagai formula bisa menjadi salah satu sumber kepercayaan dirinya. Masa bodo kalau setelahnya disemprot sama kaum lelaki yang menunggu di luar da

Namaku Bukan Harapan

Malam minggu. Aku terdiam menatap gemerlap lampu ibu kota dari ketinggian. Indahnya warna kuning kemerahan dari kelipan lampu itu adalah satu-satunya kenikmatan yang terasa pada malam itu. Hembusan angin malam yang dingin menerpa wajahku, meniupkan helaian rambut panjangku. Bahkan, angin malam pun enggan bersahabat denganku. Tiupannya dingin, menusuk jemari kaki yang kubiarkan telanjang.  Aku membiarkan mataku terpejam sejenak. Semua pikiran itu perlahan menguap dari ubun-ubun yang tak lama lagi akan meledak. “Sebentar lagi, hanya sebentar lagi, kamu akan tenang.” Setan-setan itu mulai berkerumun di sekitarku. Aku membiarkan diriku terhasut oleh buaiannya. Satu langkah saja, hanya satu langkah dari atas sini, dan semua akan berakhir.  Aku mengangkat kaki kananku yang gemetar dengan hebat. Setelah ini, aku akan damai bukan? Tak kan ada lagi kata-kata tajam yang menyayat telingaku. Setelah satu langkah ini, semuanya akan sirna. “Nadia, tunggu!” Sebuah teriakan serak yang diiringi s