Mimpiku untuk Bumiku
“Aiko!” seseorang memanggil gadis itu. Gadis kecil
dengan rambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai, dengan kulit putih bersih
dan mata yang dihiasi dengan bingkai kacamata yang membuatnya terlihat seperti
gadis polos yang lugu. “Halo Caroline, ada apa?” dia menoleh dan menyapa.
“Jangan berpura-pura tidak tahu Aiko,” ucap Caroline sambil tersenyum kecil,
“Aku hanya ingin mengucapkan selamat padamu, karena sepertinya mimpimu itu akan
segera terwujud.” Sambungnya dengan logat british-nya yang sangat baik.
“Ayolah Caroline, aku benar-benar tidak mengerti
ucapanmu itu. Apa yang terjadi?” ia bertanya dengan nada bingung. “Ayo ikut aku”
Caroline menarik tangan kecilnya dan berlari menyusuri koridor sekolah. Gadis
itu mendengus. Ia tidak suka dibuat penasaran seperti ini. Ia pun berjalan
tersandung-sandung mengikuti langkah kaki temannya yang satu itu, yang
menariknya dengan sedikit berlari.
“Sampai” ucap Caroline singkat. Gadis itu
memerhatikan mading dengan wajah sedikit serius, dan tiba-tiba berteriak “Oh...
Ya Tuhan, aku terpilih!” Aiko menjerit cukup keras sehingga membuat orang-orang
yang berada disekitarnya menengok ke arah gadis itu yang kini memeluk temannya
erat-erat. Aiko sangat senang. Ia tidak menyangka bisa terpilih menjadi ketua
pecinta alam. Ini memang sudah lama sekali diimpikannya. “Sudah kuduga, kau
pasti akan sangat senang.” Caroline membuka suara, ia melihat Aiko tersenyum
sumringah sepanjang koridor menuju kelasnya. “Yap, dan kau benar Caroline. Aku
tidak bisa mengendalikan diriku lagi. Aku sangat senang, kau tahu? Dan aku
pasti sudah menceritakannya kepadamu bahwa ini salah satu mimpiku bukan?” sahut
Aiko dengan cepat. “Ya, dan kau selalu menceritakannya kepadaku sampai mulutmu
berbusa.” Caroline membalas ucapannya sambil menaikkan alisnya. Aiko melirik
Caroline lalu menunduk.
“Hei, kau
tahu aku hanya bercanda bukan?”ucap Caroline tidak enak hati. “Ya, tentu saja,
kau memang tukang bercanda” Aiko menoleh lalu tertawa. “Tapi aku senang kau
terpilih, jadi kau tidak perlu bercerita kepadaku panjang lebar lagi.”
Lanjutnya sambil tersenyum dan menepuk-nepuk bahu Aiko.
Caroline sampai di kelasnya dan merekapun berpisah.
Ya, mereka memang berbeda kelas. Sekolah mereka yang satu ini cukup unik.
Mereka bisa memilih ingin masuk kelas mana yang sesuai minat dan bakat mereka
masing-masing. Yap, Everette merupakan salah satu International Senior High
School yang berada di Jakarta. Aiko senang bersekolah disini. Dan tentu saja,
Aiko memilih kelas biologi. Entah apa yang membuatnya begitu tertarik dan
peduli pada alam.
“Selamat pagi, bocah lugu” sapa seorang gadis tinggi
semampai yang cantik dengan nada ketus dan senyum sinisnya. Mellisa Jane, murid
kelas Tari Modern itu tidak bosan-bosan mengganggunya. Aiko juga bingung, apa
yang membuat Mellisa dan geng-nya itu begitu membencinya. “Selamat pagi
Mellisa, dan selamat pagi Karen, selamat pagi Karin.” Aiko tahu Mellisa
meledeknya, namun ia membalas dengan senyum manisnya dan menyapa teman Mellisa
yang lain. “Uh.... Selamat pagi gadis jepang” dua anak kembar itu saling
menoleh, lalu tertawa sinis. Mereka adalah Karen dan Karin, mereka sedikit
lebih baik daripada Mellisa, menurut Aiko. Namun bagi Caroline mereka sama saja.
“Permisi teman-teman, kurasa aku akan terlambat
masuk ke kelas” Aiko memaksakan dirinya tersenyum, dan memberanikan diri maju.
Langkahnya pun terhenti ketika Karen dan Karin menutup jalannya. “Tidak secepat
itu nona” Mellisa kembali dengan senyuman jahatnya. “Awalnya kami ingin
mengucapkan selamat karena kau menjadi ketua....” Mellisa berhenti untuk
berfikir. “Pecinta alam...” sambung Aiko. “Oh ya, itulah... Tapi tidak jadi,
karena sepertinya kau terburu-buru.” Sahut Mellisa ketus. “Oh, maafkan aku. Tapi
terimakasih atas niat baik kalian” balas Aiko dengan lagi-lagi senyumannya.
Mellisa dan teman-temannya hanya menatap Aiko dengan pandangan meremehkan, dan
membuka kembali jalan untuk Aiko.
Aiko berjalan dengan perlahan, sambil menatap lurus
ke depan, dia tidak boleh terlihat takut di depan Mellisa. Namun tiba-tiba...
‘Brukk...’ tubuh Aiko terjatuh ke lantai. “O-ow, kurasa teman kita yang satu
ini butuh bantuan kawan-kawan” Mellisa berkata seolah-olah tidak bersalah,
namun perkataannya itu langsung disambut tertawaan oleh teman-temannya. Aiko
mengangkat kepalanya, seketika ia merasa pandangannya kabur. Kacamatanya
terjatuh, entah terjatuh kemana, Aiko meraba-raba lantai untuk mencari
kacamatanya. Mellisa dan teman-temannya sudah menjauh. “Ini kacamatamu” suara
seseorang mengejutkannya dan dengan otomatis dia mendongak keatas dan meraih
kacamatanya yang ada dijuluran tangan orang itu, dan langsung memakainya.
Ia berdiri dan mengucapkan terimakasih kepada
laki-laki yang menolongnya itu. “Maaf, aku sudah terlambat” Ia segera berlari
menuju kelasnya dan meninggalkan laki-laki itu. Begitu ia masuk, Mr. Milton
menatapnya dengan tatapan heran dan, seperti biasa, dengan kacamatanya yang
merosot. “Apa yang membuatmu terlambat, nona Aiko?” ucap Mr. Milton. “Oh, maafkan
aku Mr. Milt, aku benar-benar menyesal. Hanya saja, tadi ada sesuatu yang
menahanku di luar.” Jelas-nya sambil menunduk. “Baiklah, jangan ulangi lagi.
Kau hampir melewatkan bagian terpenting dari praktikum ini” Aiko segera duduk
dibangkunya. Dan mulai belajar......
***
“Aku harus mempelajari buku ini” ucap Aiko kepada
dirinya sendiri. Sekarang ia sedang duduk di taman belakang sekolah sambil
memegang sebuah buku yang cukup tebal. Ia membuka buku itu membacanya sambil
melahap sandwich isi sayur dan daging sapi yang dibawanya dari rumah. “Hei”
sapa seseorang dari belakang. Dengan refleks Aiko menoleh dan mendapati seorang
laki-laki memanggilnya. “Kau, yang tadi pagi itukan?” laki-laki itu duduk
disampingnya. “Jason Carl” dia mengulurkan lengannya. Aiko menatapnya
kebingungan. Sepertinya ia tidak pernah melihat laki-laki ini sebelumnya.
Seakan membaca pikirannya, laki-laki itu menyahut “Aku pindahan dari
California”
“Oh, aku Aiko, Aiko Midori” Aiko menyambut uluran
tangannya dan tersenyum. “Kau pasti murid kelas biologi” Aiko menatapnya heran
sekali lagi, darimana dia bisa tahu? “Hei, bagaimana kau bisa tau? Bisa membaca
pikiran ya?” tanya Aiko heran. “Aku hanya melihat dari bukumu yang tebal itu”
gumamnya. “Aku dari kelas melukis”
“Senang berkenalan denganmu” ucap Aiko. “wanita yang
tadi pagi itu... dia tidak terlihat baik, bagaimana menurutmu?” tanya Jason
bingung. “Tapi dia juga tidak terlihat buruk,” Aiko menyahut. “Bagaimana kau
bisa berkata seperti itu setelah apa yang dia lakukan kepadamu?” Jason terlihat
semakin bingung. “Karena... aku sudah terbiasa...” ucap gadis itu pelan.
“Maksudmu, terbiasa diperlakukan seperti itu? Kenapa kau tidak melawan?” kali
ini Jason meninggikan suaranya, dia terlihat sedikit kesal. Aiko hanya
mengangguk, “Kenapa kau peduli?”
Jason menatapnya heran, alisnya terangkat sebelah, “Kenapa
aku peduli?” dia mengulangi perkataan gadis itu. “Ya.... Aneh saja, biasanya
orang akan membalas kalau....” “Balas dendam bukan jalan yang tepat Jason.
Untuk apa aku membalasnya? Aku tidak akan mendapatkan keuntungan darinya kan?”
Aiko memotong omongannya.
Jason terpaku melihat alasan itu, ‘alasan yang
cerdas,’ pikirnya. “Aku rasa aku harus masuk ke kelas sekarang” Aiko
membuyarkan lamunannya. “Sampai nanti” Jason segera menyahut ketika gadis itu
berbalik meninggalkannya. Gadis itu hanya menoleh sambil tersenyum dan
melambaikan tangannya. Gadis yang aneh.....
***
Pagi yang indah, gumam Aiko. Ia berjalan sambil
membayangkan dirinya berada di pegunungan. “Hei!” Suara itu membuyarkan
lamunannya, Aiko menoleh dan mendapati Jason yang tersenyum kearahnya. “Selamat
Pagi Jason” sapa Aiko dengan senyum ramahnya. “Kudengar kau terpilih menjadi
ketua pecinta alam?” tanya Jason. “Oh, darimana kau tahu?” “Entahlah, banyak
orang yang membicarakan ketua pecinta alam yang baru itu. Ohya, kalau aku boleh
tau, apa saja yang dilakukan para pecinta alam?” tanya Jason penasaran.
“Sepertinya kau sangat ingin tahu ya...” Aiko melirik Jason yang langsung
cemberut menatapnya. “Hahaha, baiklah, kami melakukan kerja bakti, menanam
pohon-pohon baru disekolah, mendaur ulang sampah kertas dan plastik, dan...
mengunjungi tempat-tempat yang menyedihkan” Aiko menjelaskan satu persatu, dan
dia terlihat sedih ketika mengucapkan kata terakhir itu. Menyedihkan? tanya
Jason dalam hati, dan tanpa sadar mengucapkannya. “Ya, tempat-tempat yang telah
menjadi korban. Korban ulah manusia yang tidak bertanggung jawab” ucap Aiko.
“Kami pernah mengunjungi bantaran sungai Ciliwung yang ada di Jakarta itu,
mengunjungi bantar gebang, kau tahu kan? Tempat pembuangan sampah itu...”
sambung Aiko lagi. “Apa yang kalian lakukan disana?”
“Kami mengamati tempat-tempat itu... dan
mewawancarai penduduk sekitarnya, lalu mengisi majalah sekolah dengan berita
terbaru dari kami. Menyedihkan sekali ya? Penduduk disekitar situ pasti tidak
bisa hidup dengan sejahtera. Bagaimana bisa mereka hidup dalam lingkungan yang
kotor seperti itu.” Aiko mendesah pelan. “Aku turut prihatin... Aku tidak bisa
membayangkan hidup mereka... Anak-anaknya... Kesehatannya pasti terganggu”
Jason ikut menundukkan kepala. “Jason, sepertinya aku sudah sampai ke kelas,
sampai nanti ya” Aiko berjalan masuk ke kelas, ia menoleh dan seperti biasa,
tersenyum sambil melambaikan tangan kecilnya itu. Jason hanya tersenyum
menatapnya dan membalas lambaian tangan Aiko, lalu berjalan menuju kelasnya
yang sudah tidak jauh dari sana.
***
“Kita membagi tugas ya, aku dan kelompok satu,
akan membersihkan sebelah selatan
sekolah, kelompok dua sebelah utara, kelompok tiga Barat, dan kelompok empat di
timur. Sekarang kita bisa mulai.” Aiko berjalan memimpin kelompoknya menuju
taman belakang sekolah. “Aiko, kalian semua sedang melakukan apa?” Suara itu
berbicara padanya, Aiko menoleh. “Ternyata kau. Jason, Bisakah kamu berhenti
mengagetkanku?” Aiko mendesah “Seperti yang kau lihat, kami sedang kerja
bakti.” Sambungnya. “Kenapa kalian kerja bakti di jam istirahat?” Jason
bertanya lagi. “Memangnya salah?” Aiko balik bertanya. “Tidak...” ucap Jason
pelan. “Apakah aku boleh membantu?”
“Kenapa tidak?” Aiko tersenyum mendengarnya. “Ambil
sampahnya dengan benda ini, lalu masukkan ke dalam plastik hitam itu. Plastik
hitamnya ada tiga, kita pisahkan sampahnya” lanjutnya. “Hmm... mungkin aku akan
memakai sapu saja.” Jason melirik kearah sapu lidi yang tersandar di pohon
mangga. “Terserah kau saja” Aiko melanjutkan pekerjaannya. “Sampah-sampah
ini... akan kamu apakan? Apakah akan dibakar atau...”
“Kami akan mendaur ulangnya. Untuk sampah dedaunan,
kami akan mengolahnya menjadi pupuk kompos. Sementara kertas itu... kami bisa
membuat beberapa kerajinan tangan. Untuk plastik, kami akan menjualnya ke
tukang. Dan uangnya akan kami sumbangkan sebagian untuk panti asuhan. Sebagian
lagi akan menjadi modal bagi kami untuk mengunjungi tempat-tempat tertentu dan
mengadakan bakti sosial” Ujar Aiko panjang lebar. “Waw... Hebat” bisik Jason
pelan dan tanpa sadar mulutnya sedikit menganga. Aiko hanya tersenyum
mendengarnya.
***
“Apa pendapatmu tentang... Indonesia?” Jason kembali
membuka pembicaraan saat perjalanan pulang sekolah. “Hmm... Indonesia negara
yang indah. Sangat indah sampai aku betah tinggal disini.” Ucapnya dengan
senyum mengembang di wajahnya. “Apa yang membuatmu merasa negara ini indah?”
Jason menatapnya penasaran. “Yaampun Jason, kau belum pernah berkeliling
melihat flora dan fauna yang ada di sini ya?” Jason hanya mengangguk.
“Kapan-kapan kita jalan-jalan. Aku pernah menyelam
di perairan Bunaken. Dibawah sana sangatlah indah. Dulu Ibuku juga pernah
mengajakku ke pulau komodo, disana juga tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Kau pernah mengunjungi..... emm... yang dekat saja, taman bunga nusantara?
Bunga-bunga disana juga indah. Atau... Pantai Losari? Ya, yang di Makassar itu
loh.. Bagaimana dengan gunung Bromo? Itu gunung yang indah, pasti banyak
hewan-hewan yang tersembunyi di baliknya... Sayang sekali kalau semua itu akan
hancur..... atau punah lebih tepatnya ”
“Oh... Kau terlihat sangat berpengalaman Aiko,
apakah kamu pernah mengunjungi semua tempat itu?” Jason bertanya lagi.
“Sebagian.... Dulu ibuku sering mengajakku berjalan melihat pemandangan indah
disini” Aiko menunduk. Jason menatapnya heran, keningnya berkerut. “Apa
maksudmu ‘dulu’?” tanya Jason lagi, tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya. “Oh
Jason, ibuku sudah meninggal, sebulan yang lalu” ucap Aiko sedih. Jason
prihatin, namun heran juga, ternyata Aiko sudah tidak punya ibu lagi.. “Dia
meninggal karena kanker paru-paru” Aiko menambahkan. “Maafkan aku, aku sangat
menyesal” Jason ikut menunduk. “Tidak-tidak Jason.. Kau tidak perlu minta
maaf.” Aiko menoleh kearah Jason yang menunduk sedih, “Hei, tidak usah seperti
itu. Kau tidak perlu merasa bersalah atau bagaimana, aku sudah mengikhlaskannya
kok” Jason mendongak kearah Aiko yang sudah berdiri dihadapannya. “Ayo
lanjutkan kerja baktinya”
***
“Disinikah tempatnya?” Jason menoleh kearah gadis
berkacamata yang rambutnya dikuncir kuda itu. “Ya. Jason, kau yakin ingin ikut
kami? Aku tidak percaya,” Aiko bertanya dengan heran. “Apakah kita akan
membuang-buang waktu dengan pertanyaan yang tidak perlu dibahas?” Jason melirik
kearahnya, dan menyunggingkan senyumnya. Aiko hanya menatapnya dan langsung
berjalan masuk ke rumah kecil itu. Sebenarnya itu rumah untuk tempat tinggal.
Tapi Aiko dan teman-teman ekskul pecinta alam lainnya mencari dana untuk
membeli rumah tinggal itu dan menyulapnya menjadi rumah daur ulang. Kini rumah
itu dipenuhi dengan karya-karya unik dari barang bekas di ruangan depannya. Di
ruangan belakang, terdapat ember-ember dan beberapa karung kertas, kardus, dan
botol atau gelas bekas yang sudah mereka kumpulkan beberapa hari yang lalu.
“Kita akan mulai dari mana Aiko?” sahut Leslie,
murid kelas musik yang juga merupakan anggota pecinta alam. “hmm.. Begini saja,
sebagian anak laki-laki mengantar beberapa karung plastik dan kardus ke tukang
loak, sementara sisanya... aku rasa kita bisa mengubah kertas-kertas itu
menjadi bross atau gantungan kunci” pikir Aiko. “Aiko! Bagaimana kalau kita
membuat bazar disekolah... Kurasa lemari dan rak-rak didepan sudah terlalu
penuh untuk menampung kerajinan kita lagi...” usul Intan, dia merupakan murid
kelas Geologi. Intan orang Indonesia, namun orangtuanya bekerja di kedutaan inggris,
dan dia sempat tinggal disana sampai lulus sekolah dasar. Jadi, dia kurang
lancar berbahasa Indonesia. “Betul! Uang dari hasil Bazar kan juga bisa
membantu program-program kita” sahut Leslie lagi. “Oke, ayo kita mulai”
“Apa yang akan kita lakukan dengan kertas-kertas
ini?” Aiko mendengar Jason bertanya. “Kita akan menghancurkannya dengan air,
lalu dicampur dengan lem kanji, dan setelah itu, kau bisa membentuknya dengan
cetakan-cetakan yang lucu” Aiko menjelaskan sambil menunjuk bahan-bahan yang
akan dipakai. Jason menatapnya bingung, dia memang belum pernah mendaur ulang
kertas seperti ini “Lalu?” Aiko meliriknya, lalu kembali menjelaskan “Adonan
yang sudah dicetak, kita jemur sampai benar-benar kering. Setelah itu, baru
kita bisa menghiasnya dengan cat akrilik, atau dengan hiasan lainnya. Kalau
ingin dibuat menjadi bross, kita hanya tinggal menempelkan peniti kecil ini
dibelakangnya menggunakan lem tembak. Kalau membuat gantungan kunci, hanya
tinggal melubangi sedikit, lalu mengaitkannya di gantungan”
“Kalau kardus itu? Akan diapakan?” lagi-lagi, Jason
bertanya. “Kardusnya bisa dibuat menjadi kotak pensil, bingkai foto, dan
aksesoris lainnya.” Aiko mendengus, lalu menyahut “Kau ini, daritadi bertanya
terus, kapan kita akan mulai bekerja?”
“Aiko! Apa kain perca ini bisa kita gunakan?” kali
ini Ceryl yang mengagetkannya. “Hmmm... Seharusnya bisa. Ngomong-ngomong, kau
dapat dari mana?” Aiko bertanya balik. “Didekat rumahku banyak tukang jahit. Tanteku
juga memiliki butik, baju-baju sana dibuatnya sendiri. Awalnya mereka akan
membuangnya, tapi kupikir ini pasti bisa didaur ulang” Ceryl menjelaskan. “Ohya,
aku pernah belajar cara membuat boneka dari kain perca, kita juga bisa membuat
bross, dengan membentuknya seperti bunga. Nah.. Seperti ini” Aiko mempraktikkan
cara membuat bross itu. “Ide yang bagus, sangat bagus. Aku sudah yakin dari
awal, kamu memang pantas Aiko” Shella, murid bermata sipit itu menyahut dan
langsung disambut teriakan setuju oleh teman-teman yang lainnya.
“George, menurutmu kapan kita bisa memulai bazar?”
Aiko bertanya pada temannya yang kebetulan bertugas mengatur setiap acara dalam
ekskul ini. “Mungkin dua atau tiga hari lagi Aiko. Walaupun barang yang akan
dijual sudah ada, kita tetap harus meminta izin kepada kepala sekolah dulu
bukan?” Aiko mengangguk mendengar penjelasan George. “Bulan ini, kita akan
kemana?” Aiko bertanya lagi. “Mungkin kita akan mengunjungi perumahan dipinggir
rel kereta. Kita adakan bakti sosial saja disana.” George kembali menjelaskan
dengan santai, tanpa lama-lama berfikir. “Kau jenius” George hanya tersenyum
mendengar perkataan gadis itu.
***
Bakti sosial selesai. Aiko bersyukur sekali semua
acarannya berjalan dengan mulus, meskipun ada sedikit hambatan, namun itu tidak
membuat acaranya tersendat. Kini, ia sedang merapikan barang-barang dan akan
segera pulang. Saat perjalanan pulang, Aiko bertemu Jason yang sedang melamun
sambil duduk di bangku taman. Menatap air mancur yang terus mengalir
dihadapannya. “Jason! Sedang apa kau disana?” Aiko menyapanya dengan ramah.
“Aiko! Aku tidak percaya kita bisa bertemu disini” Jason menyambutnya sengan
sesimpul senyum ramah dan hangat. Aiko menghampirinya dan duduk disampingnya.
Mereka sempat saling diam selama beberapa menit.
“Kalau aku boleh tau. Kenapa kau begitu peduli
dengan lingkungan?” Jason membuka pembicaraan. Memang selalu begitu. Jason
menyadari Aiko lebih pendiam jika tidak ditanya. Tapi kalau sudah ditanya, Aiko
pasti akan menjawabnya panjang lebar. “Karena lingkungan kita, bumi kita ini,
sudah terlalu sakit.” Kali ini Aiko menjawabnya singkat. “Maksudmu, bumi tidak
boleh sakit terlalu sering, tidak boleh sampai parah? Begitukan?” Jason menoleh
kearah Aiko yang membalas tatapannya dengan kerjapan matanya yang lucu. “Ya,
bumi kita ini semakin sering dirusak oleh manusia sendiri, bahkan terkadang
tanpa manusia itu sadar sendiri. Tapi, sadar atau tidak, manusia harus tahu,
kalau bumi sakit, bumi kita mati, manusia juga akan hancur.” Aiko
menjelaskannya dengan perlahan, namun pasti.
Jason tertegun melihatnya, gadis ini... punya
pikiran yang sangat mengejutkan, benar-benar tidak bisa ditebak. “Kamu benar
Aiko... Terlalu banyak tempat-tempat indah yang tertutup oleh sampah...
Harusnya manusia sadar.. Kau tau? Aku sangat bersyukur bisa mengenalmu” Aiko
menatapnya dengan mata terbelalak, lalu ia tersenyum “Terimakasih Jason, tapi
aku merasa, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain ini”
“Memangnya, apalagi yang ingin kamu lakukan?” Jason
bertanya dengan nada bingung. Jason bingung, Aiko sudah berbuat banyak untuk
bumi, tapi kenapa dia merasa masih ada yang kurang? Diakan sudah bersikap
sangat baik dan menyadarkan banyak orang? “Aku ingin melakukan penyelamatan”
Aiko memulai ceritanya. “Aku mempunyai banyak tanaman di rumah, disana aku
letakkan di tempat yang.. seperti green house, kau tahu? Tapi aku tidak
menggunakan kaca. Untuk menghindari efek rumah kaca, aku memakai jaring dan
kayu penahan. Tapi itu sama sekali tidak membuatku merasa cukup” Aiko berhenti
sebentar untuk menarik nafas. Ia menoleh ke arah Jason yang memandanginya
dengan kening berkerut, Jason memang pendengar yang baik. “Aku pernah melihat
taman yang sangat indah dipinggiran kota. Saking terpesonanya, aku menjadi
rutin mengunjungi taman itu. Tapi terakhir aku kesana, keadaannya berubah,
semua itu hilang. Hilang digantikan pagar besi dan papan proyek.” Aiko mendesah
pelan. “Ya Tuhan.... Aku tidak bisa membayangkan jika taman ini akan berubah
menjadi gedung juga.” Jason mengomentari cerita Aiko dan ikut prihatin. Dia
juga sebenarnya bingung. Mengapa sangat sedikit sekali yang peduli, mengapa?
“Kau bukan warga asli negara ini, kenapa kau begitu
peduli?” Jason bertanya dengan nada hati-hati. Takut menyinggung perasaan Aiko.
“Aku peduli kepada lingkungan. Dimanapun, kapanpun, dan bagaimanapun itu.”
Singkat, padat, berisi. “Andai saja semua orang berfikiran seperti kamu Aiko,
bumi akan menjadi tentram” Jason menoleh kearah Aiko yang melamun, “Sangat”
Jason menambahkan.
“Lalu apalagi yang ingin kamu lakukan?” Jason
bertanya lagi. “Mengajar. Aku ingin mengejarkan anak-anak tentang arti
kebersihan, dan cinta pada bumi kita. Bagaimanapun juga, manusia tidak bisa
hidup tanpa bumi. Manusia bisa merusak bumi kapan saja, tanpa sadar”
***
Manusia bisa merusak bumi kapan saja, tanpa
sadar.... Kata-kata kata itu terus terngiang-ngiang di kepala Jason ketika
sedang menanam pohon dalam gerakan ‘Satu Orang Satu Pohon’ di sekolahnya.
“Jason! Program apalagi yang akan kita lakukan nanti?” suara itu membuyarkan
lamunannya. “Nanti kita pikirkan lagi” jawabnya singkat. Ya, sekarang Jason
menjadi ketua pecinta alam. Bagaimana bisa?
Karena Aiko sudah pergi.. Pergi ke alamnya yang baru
disana, dengan tenang. Ini sudah satu bulan Aiko meninggalkan teman-temannya.
Tiba-tiba Jason ingat.. Ingat ketika ia mendengar jeritan seorang gadis saat
mengendarai mobilnya melalui jalan yang sepi menuju rumah. Ia segera mendatangi
asal suara itu, dan melihat tubuh seorang gadis cantik tergeletak dengan darah
yang berceceran. Aiko Midori, gadis cantik itu sudah tiada, ia tewas
mengenaskan ketika pulang dari tempat bakti sosial. Gadis itu tewas karena
dipukuli oleh preman karena kebaikannya.
***
Aiko sudah pergi, siapa lagi yang akan
menggantikannya? Siapa lagi yang akan menyelamatkan pohon-pohon dan merawatnya?
Siapa lagi yang akan membantu mendaur ulang sampah yang masih bisa digunakan?
Siapa? Siapa lagi? Aku rasa itu kita. Kita generasi muda yang masih bisa
bergerak dengan leluasa untuk bertindak. Bertindak merapikan kembali bumi kita,
menyayangi bumi, merawat bumi, sebelum semuannya benar-benar terlambat.
Sebuah cerita pendek,
Blaue rosen.
Komentar
Posting Komentar