Malaikat Tanpa Sayap
Kusambut hari baru dengan semangat pagi yang menggugah
jiwa. Hari ini, pertama kalinya aku memasuki kelas tetapku. Dengan senyuman
yang tersaji rapi di wajahku, kulangkahkan kakiku ke dalam kelas yang sudah
mulai dipenuhi oleh calon-calon temanku. “Kelas 7.2” tulisan itu terpampang
diatas papan nama yang menggantung di depan pintu masuk ke kelas. Aku menaruh
tas hitamku secara asal di meja yang belum ‘berpenghuni’, lalu keluar menuju
koridor dan memandang seisi sekolah dari atas. Belum lama melamun, aku dikejutkan
oleh deringan bel tanda masuk kelas dan pelajaran akan segera dimulai.
Aku masuk ke kelas dan mendapati kursi disampingku sudah
terisi oleh seorang anak perempuan. “Aku duduk disini ya?” gadis itu bertanya
kepadaku. Aku membalas tersenyum kepadanya dan mengangguk. “Fadila,” aku
menjulurkan lenganku, ia menyambut lenganku dan tersenyum, “Risa,”
Sebulan sudah aku bersekolah disini, aku merasa cukup
nyaman walaupun masih menutup diri dan belum bisa beradaptasi dengan baik.
Setelah melewati beberapa konflik yang menurutku hanya perlu diselesaikan
dengan bertindak sedikit lebih dewasa, aku pindah tempat duduk. Risa memang
anak yang baik dan pintar, namun aku kurang nyaman berteman dengannya karena
kami sering berbeda pikiran.
Kini, aku mendapati Anti sebagai teman sebangku ku, ia
anak yang baik, sedikit pendiam, dan juga sedikit tertutup. Aku sangat nyaman
berteman dengannya. Kami seringkali bertukar cerita, berdebat tentang
pelajaran, dan melakukan hal-hal yang lain berdua. Semakin lama semakin akrab,
aku menjadi ‘ketergantungan’ kepadanya. Jika ada tugas kelompok aku tidak mau
dipisahkan dengan Anti. Alhasil, Anti menjadi satu-satunya teman dekatku di
sekolah. Tentu saja itu bukan situasi yang baik karena jika suatu saat Anti
bosan denganku dan meninggalkanku, Anti akan mendapatkan teman yang lain dengan
mudah karena ia banyak disukai, sementara aku hanya akan sendiri.
Dan hal yang tidak kuharapkan itupun terjadi, salah satu
temanku ‘mengambil’ Anti dariku, dan tinggalah aku sendiri. Semenjak Anti ‘pergi’
aku menjadi semakin tertutup. Hari-hariku di sekolah terasa semakin suram. Sebernarnya,
aku tidak mempunyai alasan khusus dan aku tidak suka menyendiri. Akupun mulai
mencari teman yang lain, menulusuri seisi kelas dengan mencoba sedikit lebih
terbuka terhadap teman-teman yang lain. Namun percuma saja, aku belum bisa
beradaptasi dengan baik.
Hidup sendiri itu sulit kawan, terutama saat ada
pelajaran yang tak kumengerti. Sesekali aku mencoba bergabung dengan
teman-teman yang lain dan berbaur. Namun yang kurasakan adalah, mereka
terganggu dengan keberadaanku. Keadaan ini membuatku merasa tertekan. Entah aku
yang memiliki sifat sensitif, atau memang kenyataannya begitu.
Tuntutan nilai yang menohok ulu hatiku pun tak sungkan
menambah beban sekolahku. Sampai pernah aku berpikir, sekolah itu untuk mencari
nilai atau mencari ilmu? Namun segera kusingkirkan pikiran itu jauh-jauh karena
itu semua hanya akan membuatku semakin stress. Sampai kapan kejadiannya akan
begini? Sampai kapan aku akan menutup diriku di sekolah? Aku hanya bisa percaya
kepada kekuatan takdir, bahwa manusia tidak ditakdirkan untuk hidup sendiri.
Jum’at siang yang cerah usai bel pulang sekolah, aku
berdiri dengan canggung di depan masjid yang dipenuhi oleh anak-anak yang sibuk
dengan aktivitasnya masing-masing. Baru selangkah memasuki masjid, seseorang
menepuk bahuku pelan dari belakang. “Anak rohis ya? Ayo masuk,” seorang
perempuan berjilbab yang terakhir kali kukenali sebagai kakak kelasku
menuntunku masuk ke dalam masjid yang sederhana itu.
Aku duduk dengan canggung didepan seorang anak perempuan
yang sebaya denganku. “Cuma segini?” seseorang kakak dengan kerudung yang masih
di genggamnya datang lalu memasang kerudung yang dipegangnya itu ke kepalanya.
Secara spontan mereka menoleh ke arahku dan anak perempuan di depanku. Sekarang
aku mengerti, dia akan menjadi temanku. Ya, anak perempuan yang ada di depanku
ini. Aku mulai mengamatinya, kerudungnya yang sangat panjang terpasang dengan
rapi, agak tak sepadan dengan tubuhnya yang terlihat kecil.
“Assalamualaikum...” ucapan salam itu membuyarkan
lamunanku, meminta perhatian. Refleks, kami menjawab salam itu bersama-sama.
“Ayo kita mulai perkenalannya,” salah satu kakak kelas menyeletuk, dan akhirnya
perkenalan dalam bentuk permainan itupun dimulai.
Anita, nama anak perempuan itu. Rasa percaya diri terpampang
jelas di wajahnya. Tunggu dulu, aku pernah melihatnya! Ia pernah mengikuti lomba
pidato pada waktu Masa Orientasi Sekolah dulu! Subhanallah.. Wanita yang satu ini
membuatku berdecak kagum. Dengar-dengar, dia juga aktif di organisasi intra sekolah
atau OSIS.
Dan hebatnya, aku hanya membutuhkan waktu yang singkat
untuk akrab dengannya. Merasa cukup nyaman, aku datang ke kelasnya setiap jam
istirahat. Dia anak yang baik, dan terkenal mudah bergaul dengan orang lain.
Seringkali Nita bercerita tentang teman yang disukainya. Berbagi cerita
bersamanya, membuatku lupa akan masalahku di kelas. Dekat dengan Nita, dekat
pula aku dengan teman-teman sekelasnya. Daftar teman-temanku terus bertambah.
Sikap menyendiri yang kumilikipun hanya terlihat di kelasku saja.
Nita menjadi
sarana ‘melepas penat’ yang menyenangkan bagiku. Jika aku sudah bertemu
dengannya, apapun bisa kutinggalkan untuk menemuinya dan sekedar mengobrol
dengannya. Sejak aku mengenalnya, aku seakan lupa dengan duniaku sendiri, dan
memaksa untuk pindah ke dunia orang. Sejak saat itu, aku tidak pernah terlihat
di kelasku saat jam istirahat, seperti menghilang begitu saja tanpa jejak,
namun kembali lagi setelah bel masuk berbunyi.
Ia mengajarkanku untuk bergaul dengan teman-temanku di
kelas. Mencoba bersikap ramah dan tidak kekanak-kanakan, dan juga menghargai
mereka dengan caraku. Ia telah mengubah hidupku, menjadi lebih baik. Ia
mengenalkanku apa artinya persahabatan, kesetiakawanan, dan juga kebersamaan.
Akhirnya, aku menemukan orang yang selama ini kubutuhkan. Anita, seorang malaikat
yang setia menemani kesendirianku. Malaikat yang tak bisa terbang, malaikat tanpa
sayap.
fadila itu wafa and anita itu rara -based on true story-
BalasHapus