Namaku Bukan Harapan


Malam minggu. Aku terdiam menatap gemerlap lampu ibu kota dari ketinggian. Indahnya warna kuning kemerahan dari kelipan lampu itu adalah satu-satunya kenikmatan yang terasa pada malam itu. Hembusan angin malam yang dingin menerpa wajahku, meniupkan helaian rambut panjangku. Bahkan, angin malam pun enggan bersahabat denganku. Tiupannya dingin, menusuk jemari kaki yang kubiarkan telanjang. 
Aku membiarkan mataku terpejam sejenak. Semua pikiran itu perlahan menguap dari ubun-ubun yang tak lama lagi akan meledak. “Sebentar lagi, hanya sebentar lagi, kamu akan tenang.” Setan-setan itu mulai berkerumun di sekitarku. Aku membiarkan diriku terhasut oleh buaiannya. Satu langkah saja, hanya satu langkah dari atas sini, dan semua akan berakhir. 
Aku mengangkat kaki kananku yang gemetar dengan hebat. Setelah ini, aku akan damai bukan? Tak kan ada lagi kata-kata tajam yang menyayat telingaku. Setelah satu langkah ini, semuanya akan sirna. “Nadia, tunggu!” Sebuah teriakan serak yang diiringi sesenggukan mengejutkanku. Aku menoleh dan menemukan sosok yang kuharap dapat mengubah keputusanku. Wanita itu akhirnya datang juga. Seorang wanita yang biasa kusebut Ibu. Raut wajahnya yang tampak menua kini tak lagi menyiratkan senyuman, tertutupi oleh derai air mata yang membasahi pipinya. Aku telah mengecewakan wanita itu. 
***
Namaku Nadia Indrianti, Nadia artinya harapan dan Indriyanti kecantikan. “Kamu adalah harapan tercantik bagi ibu, Nadia” senyum tulusnya selalu mengiringi tuturnya padaku. Ibu bilang, namaku adalah doa dan harapan. Beliau sangat bangga ketika kelak membesarkanku menjadi gadis yang cantik dan pintar. Diusiaku yang menginjak dewasa, aku berpisah dengan ibu untuk menimba ilmu di ibu kota. Ibu bilang, aku harus jadi orang hebat jika tidak ingin diinjak-injak. Aku memutuskan untuk mengikuti kemauannya dan bersekolah di kampus ternama. Aku ingin merajut harapan ibu. Ibu bilang, harapan itu abadi. Tapi ku rasa, ibu telah salah menilai harapan. Ibu telah salah salah menilai aku.
Gita adalah orang pertama yang menerima pertemananku di kampus besar di ibukota. Semenjak hari pertama berkuliah, Gita menjadi satu-satunya sahabatku. Sejak kecil, aku memang sedikit pemalu dan sulit untuk bergaul. Di desa dulu, aku lebih menikmati kesendirian dan senang berteman dengan sepi. Aku tidak memiliki banyak teman, lebih suka bersembunyi dalam aktivitas rumahan. Namun, Gita yang ramah dan periang telah berhasil meruntuhkan tembok pertahananku. Gita telah berhasil membuatku nyaman dan percaya pada indahnya persahabatan. Aku tak pernah menyangka, gadis itulah yang membawa masa kelam itu padaku. Masa ketika aku mulai mengenal benda biadab itu. 
Gita, seseorang yang kukira sahabatku, membawaku terjun ke dalam dunia hinanya. Perkenalan kecilku dengan benda terlarang itu berawal di sebuah pesta di rumahnya. Malam itu, malam minggu. Aku mengenakan sebuah gaun berwarna merah muda selutut. Ibu bilang, aku boleh pakai baju apapun asalkan sopan. Aku menatap wajahku di cermin malam itu, tubuhku yang semampai tampak cantik dalam balutan gaun. Gita bilang, aku sangat cantik malam ini. Kukerlipkan bulu mata lentik yang telah tku poleskan dengan maskara hitam milik Gita. Ibu, mata ini masih menyimpan harapanmu. Namun sayangnya, malam ini semua itu akan sirna. 
Pesta itu adalah ulang tahun Gita yang ke delapan belas. Pestanya berlangsung meriah sekali, dia bahkan menyewa seorang disc jokey untuk memainkan musik. Gita bilang, usia delapan belas berarti kebebasan, jadi harus dirayakan semeriah mungkin. Gita memang selalu ceria dan punya banyak teman. Gita bilang, hidup itu hanya sekali. Sia-sia namanya kalau aku tidak mencoba segala kesenangan dalam hidup. Malam itu, aku membiarkan tubuhku terbuai oleh alunan musik yang memekakkan telinga. Aku membiarkan seluruh tubuhku melenggang mengikuti irama dan menghentakan kaki ke lantai apartemennya. Gadis itu sedang bahagia, derai tawanya lepas dan menampakkan gigi putihnya yang rapi. Gita tersenyum sumringah sekali, tampak seperti senyuman ibu dulu ketika aku mendapatkan juara di kelas. 
Hiruk pikuk itu berlangsung hingga tengah malam. Sudah larut sekali, namun Gita masih tampak energik karena euforia yang dirasakannya. Aku lelah dan memutuskan untuk kembali ke rumah kontrakan untuk beristirahat. Ketika aku pamit, Gita menahanku untuk tetap tinggal. Gita bilang, ini terlalu larut untuk pulang. Gadis itu berkata bahwa ia khawatir padaku, dan mengajakku untuk menginap di rumahnya. Aku terlalu lelah untuk menolak dan memutuskan untuk menginap. Bukankah akan lebih baik jika aku pulang besok pagi? Toh, ibu tidak akan khawatir dan menyusulku ke sini. Malam ini ibu past menelfon, aku hanya harus mengatakan padanya kalau aku menginap di rumah Gita. Ibu sudah pernah kukenalkan dengan Gita melalui telefon, jadi beliau pasti akan percaya pada gadis itu. 
Aku masuk ke kamar Gita dan langsung membenamkan wajahku pada kasurnya yang empuk. Kamar Gita luas dan rapi, tiap sudut ruangannya dihiasi oleh ornamen kayu yang indah. Setelah membersihkan dirinya, Gita menghampiriku dengan sebuah benda yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Gadis itu memberikanku sebuah soft drink untuk menghilangkan lelahku. Namun anehnya, aku merasa kepalaku berputar setelah meminum soft drink itu. Aku bertanya pada Gita tentang isi minuman itu, namun Gita menjawabnya sambil tertawa. “Ini namanya minuman surga, Nadia. Kalau kita masuk surga nanti, kita bisa minum dari sungai yang isinya minuman ini.” Jika ini minuman surga, kenapa rasanya aneh sekali? Anehnya lagi, aku ikut tertawa untuk hal yang dia bicarakan. Apa yang terjadi? Gita melantur, tapi ini terasa lucu.
Minuman itu membuatku merasa sangat rileks dan tenang. Apakah begini rasanya menjadi astronot dan terbang ke angkasa ruang? Aku merasakan jiwaku melayang di atas awan. Gita duduk di sampingku dan tertawa bersamaku. Sahabat memang seharusnya tertawa bersama, bukan? Aku sudah merasa mabuk karena minuman itu, namun Gita berkata bahwa kebahagiaan itu belum seberapa dibandingkan barang lain yang dia miliki. Gadis itu mengeluarkan sebuah suntikan berisi cairan kuning di dalamnya. Dia menyuntikkan setengah dari cairan itu ke dalam tubuhnya, lalu memasukkan sisanya ke dalam tubuhku. Aku merasakan sengatan jarum yang membuatku terkejut, namun sakitnya hilang saat cairan itu memasuki aliran darahku. Aku merasakan euforia yang luar biasa bersama sahabat baruku, Gita dan cairan itu.
Keesokan paginya, aku terbangun dengan kepala yang pening. Mulutku terasa sangat kering dan aku merasa mual. Gita hanya tertawa dan berkata bahwa semalam aku terlalu lelah. Gadis itu meminta supirnya mengantarku untuk pulang ke rumah. Sampai di rumah, aku mulai merasakan keanehan dalam tubuhku. Aku merasa lemas dan tidak bersemangat. Apa yang telah kulakukan hingga bisa selemas ini? Untung saja hari ini hari Minggu. Aku bisa menghabiskan hariku untuk tidur dan beristirahat. Tepat sebelum mataku terpejam, sebuah pesan masuk membuat ponselku bergetar. Aku tertegun bingung melihat pesan yang muncul ke layar kaca itu. “Kalau kamu butuh benda itu lagi, aku punya banyak. Happy weekend, Nadia.” Detik itu juga, aku menyadari bahwa aku telah membuat kesalahan besar.
Seminggu setelah malam itu, Gita terus mengirimi pesan tentang benda yang tidak ingin kumengerti. Aku selalu berusaha menghindari Gita setiap bertemu di kampus. Diapun  tidak pernah menghampiriku untuk meminta maaf atas perbuatannya. Gita tampaknya sudah menemukan sahabat baru dan mulai meninggalkanku. Hmm.. Sepertinya akan lebih tepat jika disebut “mangsa”, bukan sahabat. Sepertinya, aku memang tidak diciptakan untuk mengenal kata sahabat darinya. Seorang sahabat tidak akan pernah berkhianat seperti ini, bukan? Ibu benar, sahabat itu seperti anak tangga. “Teman itu seperti anak tangga, Nadia. Berhati-hatilah dalam memilih anak tangga yang akan kamu lalui. Tangga itu bisa membawamu naik ke lantai tertinggi, atau justru menjatuhkanmu ke dasar jurang.” Pesan ibu dikala itu membayangiku, membawaku tenggelam dalam lautan penyesalan.

Dua minggu telah berlalu semenjak pesta  di rumah Gita. Akhir-akhir ini, aku sering merasa lemas dan pegal-pegal. Perangaiku pun berubah, aku lebih cepat marah dan sensitif terhadap semua orang. Aku semakin sering menyendiri, menutup pintu diriku rapat-rapat dari orang-orang yang membawa kunci dan racun seperti Gita. Tembok perbatasan diriku tumbuh kembali, menjulang lebih tinggi dari mercusuar di pinggir pantai. Namun sayangnya, sistem pertahanan tubuhku tidak sekokoh itu. Tubuhku kian mengurus, bibirku tampak pucat pasi tanpa olesan lipstick yang kububuhkan. Sudah seminggu ini aku merasakan panas dingin yang luar biasa. Seminggu juga aku tidak masuk kuliah karena merasa terlalu lemas untuk berjalan. Awalnya, aku selalu mengatakan baik-baik saja setiap kali ibu menanyakan kabarku. Aku tidak ingin menelfon ibu dan membuatnya khawatir. Namun, intuisi ibu lebih kuat dari dugaanku, dia mengetahui kondisiku dan menganjurkanku untuk periksa ke dokter.
Hasil cek darah telah keluar, aku positif mengidap penyakit AIDS. Kenyataan ini membuatku sangat terpukul. Aku, Nadia Indriyanti, terkena virus HIV? Mengetahui kenyataan ini membuatku murka terhadap diriku sendiri. Amarahku bercampur dengan rasa kecewa. Aku tak percaya, masa kehancuran ini datang padaku. Kubenturkan kepalaku berkali-kali ke dinding, berharap hal itu bisa membangunkanku dari mimpi buruk ini. Aku tak kuasa menahan luapan emosi dalam tubuhku. Ibu, anakmu telah hancur. Anakmu ini telah menghancurkan harapan ibu. Aku menangis sesenggukan, tidak berdaya. Ibu, kenyataan ini terlalu menyakitkan. Aku tidak akan sanggup menahan dan beban ini. Sungguh ibu, aku tidak akan sanggup.

Maaf Ibu, aku telah memilih anak tangga yang salah. Aku terjatuh dari anak tangga yang kau sebut pertemanan itu dan tak sanggup untuk bangkit. Ibu, jika aku memiliki mesin waktu, aku tidak ingin bertemu dengan orang yang kuanggap sahabat itu. Bahkan, aku tidak ingin pergi ke ibukota dan berpisah dengan ibu. Orang itu telah mengkhianatiku bu, seharusnya aku hanya percaya padamu. Sekarang, apa yang harus kulakukan Bu? Haruskah aku membawa harapanmu terjun ke dasar jurang bersamaku? Apa lagi yang kuharapkan? Kutukan penyakit itu telah membunuh harapan Ibu. Ibu, maafkan aku. Aku telah menukarkan masa depanku demi sebuah cairan kebahagiaan dalam semalam. Ibu, maafkan aku. Sepertinya hidupku akan berakhir sebentar lagi. Ponsel dalam pangkuanku bergetar, sebuah pesan telah terkirim. Ibu, maafkan aku atas pengakuanku.
 Sebulan berlalu sejak aku menelan kenyataan pahit itu mentah-mentah. Aku mengurung diri dalam kamarku. Keluar dari rumah membuatku iri dan dengki. Iri dengan orang-orang yang masih memiliki harapan sepertiku dulu. Dengki dengan orang-orang yang senang menghancurkan harapan orang lain seperti Gita. Sudah sebulan, aku hanya makan mie instan dan air putih di rumah kontrakan. Persetan dengan kuliah, aku sudah tidak peduli, Pesan dan panggilan ibu terus masuk ke dalam ponselku secara bertubi-tubi, “Nadia, tunggu ibu ya Nak, kalau ada uang ibu akan ke kota.” Aku mengabaikan semua pesan ibu dan membiarkannya larut dalam kekhawatiran. Ibu, anak durhaka macam apa aku ini? aku ini kutukan, bukan harapan! Nama Nadia tidak lagi cocok untukku. Harapan macam apa yang melukaimu sedalam ini? Harapan macam apa yang menggulingkan dirinya sendiri dalam ladang kaktus di padang pasir? Ibu, aku sudah tak pantas untuk hidup. Haruskah aku mengakhirinya? Maaf ibu, Nadia saat ini bukanlah sebuah harapan yang cantik. Nadia saat ini hanyalah kutukan dan harapan kosong yang buruk.
Malam itu, malam minggu. Tepat dua bulan setelah suntikan beracun itu merenggut harapanku. Aku sudah tidak sanggup lagi menahan harapan bodoh ini. Perlahan, aku keluar dari kamarku dan berjalan di trotoar ibu kota dengan kaki telanjang. Aku membiarkan rambut kusutku terurai, menari bersama hembusan angin malam ibu kota. Berbagai pasang mata di pinggir jalan raya menatapku iba. Tatapan yang lainnya melihatku dengan jijik, menganggapku gelandangan gila atau justru sampah ibukota. Mereka benar, aku memang sampah. Sampah busuk sepertiku seharusnya dibuang ditempatnya.
Aku sampai di depan sebuah gedung pencakar langit bertingkat dua puluh lima. Gadis itu, gadis yang tinggal di lantai ke dua puluh dua, telah menghancurkan harapanku. Kukirimkan pesan singkat balasan Aku melangkahkan kakiku ke dalam gedung, berjalan menuju tangga darurat yang sepi dan dingin. Aku menaiki satu per satu anak tangganya dengan langkah gontai. Anak tangga inilah, yang telah kupijak dan membawaku pada neraka. Gita, wanita jalang itu, telah menghancurkan semuanya. “Gita, aku akan berada di lantai 25. Terserah kamu mau bertemu dimana. Di lantai 25 aku hidup, di lantai 1 aku tidak bernyawa” kukirimkan pesan itu sambil tertawa lirih. Aku pasti sudah gila, masih ingin bertemu dengan orang yang menghancurkanku. Keputusan ku hampir bulat. Aku akan menghantui gadis itu dengan kematianku. Semuanya akan selesai pada malam ini. Semua kesedihan dan harapan kosong itu, akan segera sirna.
Aku berdiri di ujung rooftop apartemen Gita, merasakan kakiku menginjak lantai semen yang kering dan dingin. Aku tertegun sejenak, terpesona dengan gemerlapnya lampu-lampu dari ketinggian. Cahaya ibu kota tetap bersinar terang walaupun hatiku meredup. Benar, dunia akan baik-baik saja tanpa aku. Jika aku mengakhiri semuanya disini, tidak akan ada yang berubah. Roda kehidupan akan tetap berputar seperti biasanya. Kendaraan ibu kota akan tetap menyuarakan klakson bisingnya di jalan raya. Tanpa kehadiranku, hiruk pikuk dunia akan tetap berjalan seperti biasanya. 
Aku mengangkat kaki kananku yang gemetar untuk melompat, namun teriakan yang terdengar familiar menghentikanku. Teriakan itu terdengar parau, namun cukup keras untuk membuatku terkejut dan berhenti bergerak. Aku menoleh dan mendapati wanita yang kukasihi menatapku dengan penuh kesedihan. Matanya yang lelah tampak sendu, raut wajahnya menyiratkan kekecewaan dan kesedihan. Di sampingnya berdiri seorang gadis berambut panjang yang menatapku tidak percaya. Gadis itu adalah Gita, orang yang menoreh luka dalam hidupku. Tubuh Gita tampak lebih kurus dariku, dia pasti memiliki penyakit yang sama denganku. Gadis itu panik, dia menuntun ibuku dan berjalan perlahan menghampiriku. Ibuku menangis sesenggukan, aku tak lagi melihat senyum sumringahnya. Oh, ini pertama kalinya Ibuku yang kusayangi menangis. Aku merasakan air mata mulai membasahi pipiku. Tetesannya bercampur dengan keringat dinginku, terasa asin ketika melewati bibir keringku.
Ibu terus berjalan, namun langkahnya tak kunjung menghentikan kata hatiku. Maafkan aku Ibu, aku tidak punya alasan untuk tetap hidup. Untuk apa lagi aku hidup? toh aku sudah sekarat dengan adanya penyakit ini. Ironis sekali, Nadia yang berarti harapan tidak lagi memiliki harapan. Aku telah kehilangan sosok Nadia dalam diriku. Aku berbalik menghadap ibu itu dan tersenyum tipis padanya. Bibirku menyuarakan kata maaf dengan lirih, mataku menatap mata wanita itu lekat-lekat. Aku melangkah mundur, membiarkan tubuhku terbawa oleh gravitasi. Hal terakhir yang ku dengar adalah teriakan Ibu yang keras sekali. Aku terbang bersama angina, terjatuh bagaikan kertas kumal yang sudah menjadi sampah. Ibu, wajahmu adalah pemandangan terakhir yang aku ingat, sebelum semuanya berubah menjadi hitam dan gelap.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpiku untuk Bumiku

Love Story

Gara-gara Make-up