Satu Hari Penuh Cerita: Dari Pesisir Labuan Hingga Pantai Carita


Sabtu, 28 April 2018.

Aku terbangun di sebuah bangku bus kampus, disambut oleh senyuman cerah sang mentari. Seorang teman seperjuangan di sebelahku pun tersenyum sumringah. Tampak senang bisa menikmati tidur malam yang cukup tanpa bayang-bayang laporan. Hmm, kenikmatan itu memang terkadang sederhana. Pukul enam kurang sepuluh, kami keluar dari bus dan melaksanakan sholat shubuh. Aku membasuh muka dengan air yang sedikit terasa asin. Maklum, sumber air dekat daerah pesisir memang begitu. Setelah melaksanakan sholat dan bersih-bersih, aku dan beberapa teman pergi ke sebuah aula untuk meletakkan barang bawaan. Di luar aula, tampak beberapa orang menunggu dengan raut muka sedikit jengkel. Ketika ditengok ke dalam aula, ternyata mereka menunggu teman-temanku yang berdandan dengan asyiknya. Maklum, namanya juga perempuan. Riasan wajah dengan berbagai formula bisa menjadi salah satu sumber kepercayaan dirinya. Masa bodo kalau setelahnya disemprot sama kaum lelaki yang menunggu di luar dan ngedumel terus-terusan, hihihi.

Pukul 07.30, kami sarapan dengan sepotong roti dan sekotak susu. Sarapan yang sederhana pun jadi menyenangkan karena disantap bersama canda dan tawa. Beberapa teman bahkan berfoto dan selfie bersama, mencoba mengabadikan momen dipagi hari yang indah itu. Mumpung masih cantik, ceunah. Setelah menikmati sarapan, kami berkumpul untuk melakukan briefing mengenai acara fieldtrip di hari itu. Pukul 08.00, kami keluar dari daerah aula dan berjalan menuju pemukiman masyarakat pesisir Labuan, Banten. Lingkungan di luar aula memberikan perspektif yang luar biasa. Aku disambut oleh hamparan laut luas dengan langit berawan, namun ternodai oleh “tanda peradaban” yang tersebar dan mengambang. Aku pernah membaca sebuah buku yang mengatakan bahwa jika tersesat dan menemukan sampah anorganik, berarti sudah berada di dekat pemukiman manusia. Benar saja. Aku memang tidak tersesat, tapi menemukan tanda peradaban yang luar biasa.

Rasanya miris, melihat laut yang menjadi sumber kehidupan masyarakat pesisir digenangi oleh lautan sampah. Entah masyarakatnya yang belum mengerti, atau kita yang terlalu tak peduli. Hmm.. Aku juga baru bisa mengeluh, belum bisa berbuat banyak untuk melakukan gerakan perubahan. Setelah berjalan sekitar 10 meter dari aula, kami memutuskan untuk mewawancarai sepasang suami istri yang sedang menata ikan asin untuk dijemur. Lingkungan pesisir Labuan memang dipenuhi oleh orang-orang yang ramah. Kalau berjalan disana, jangan lupa tengok ke kanan dan ke kiri sambil menyapa. Pasutri itu menyambut sapaan kami dengan ramah dan mulai bercerita mengenai kisah hidupnya. Mereka mengatakan bahwa laut sudah memberikannya kehidupan sejak tahun 77. Ikan yang mereka tangkap adalah pundi-pundi kehidupan yang telah membesarkan tiga orang anaknya, yang kini menjadi nelayan juga. Profesi itu memang sudah seperti tradisi, turun temurun melalui beberapa generasi. Ikan asin yang dibuatnya telah memberikan lebih dari sekedar nasi.

Kisah hidup beliau mengajarkan kami bahwa hidup sederhana bukan berarti tak bahagia. Hal itu dibuktikan oleh raut wajahnya yang berkerut, hasil kombinasi dari rasa lelah dan bahagia karena tersenyum. Sambil diwawancarai, beliau mengajarkan kami mengenai cara pembuatan ikan asin. Ikan asin itu makanan legendaris, karena hampir seluruh masyarakat di pesisir Labuan membuat dan menjualnya. Labuan tidak pernah kehabisan ikan asin. Perpaduan dari rendaman garam dan teriknya matahari memberikan cita rasa yang menakjubkan dalam ikan asin khas Labuan. Ikan asin adalah makanan yang melambangkan perjuangan. Waktu pembuatannya lebih dari dua hari, melambangkan kesabaran dan ketekunan. Rasanya yang asin adalah simbol dari peluh dan keringat para nelayan di pesisir. Ikan asin diawetkan dengan garam yang berlimpah, menggambarkan kisah hidup nelayan yang sudah khatam akan asam dan garam kehidupan. Ikan asin juga dibuat melalui terpaan sinar matahari, melambangkan mental kuat para nelayan yang terus ditempa oleh alam. Setelah membantu pasutri nelayan tersebut, kami diberikan sekantung ikan asin secara cuma-cuma. Masyarakat pesisir memang sangat murah hati.

Pukul 13.00 di aula, aku bertemu tiga orang gadis cilik yang sedang bermain bola bekel. Aku memutuskan untuk bernostalgia dan bermain bersama mereka. Namanya Ririn, Risma, dan Rebecca. Mereka masih bersekolah, ketiganya duduk di kelas 5 SD. Kami bermain hanya sebentar karena harus bergegas ke tempat pelelangan ikan (TPI). Ketiga gadis itu memutuskan untuk menemani kami dalam perjalanan menuju TPI. Kami mengobrol dengan riang, mereka bercerita tentang cita-citanya yang setinggi langit. “Aku suka pelajaran IPA kak, tapi gasuka matematika soalnya bikin pusing.” ujar Rebecca, gadis yang paling jangkung di antara mereka. Aku hanya membalasnya dengan tertawa simpul karena merasakan hal yang sama. Senang sekali rasanya, berjalan di pemukiman yang ramah dan ditemani oleh langkah-langkah kecil mereka yang tampak ringan. Mereka berjalan sambil sedikit mengayunkan selendangnya, bahagia dengan obrolan kami yang sederhana. Sayangnya, percakapan kami berlangsung cukup singkat. Begitu sampai di TPI, kami harus berpisah karena mereka akan latihan menari payung untuk perpisahan. Mereka pun pamit sambil melambaikan tangannya dan tersenyum dengan lepas. Melihat senyuman mereka membuatku percaya, bahwa harapan untuk Labuan masih ada.

Pukul 13.30, tempat pelelangan ikan dipenuhi oleh beragam jenis makhluk yang ber-kelas Pisces. Warnanya pun beragam, mulai dari merah terang hingga gelap kelam. TPI pun ramai dan padat seketika, dipenuhi oleh orang-orang yang akan menyapu habis ikan-ikan tersebut. Jumlah lalat yang berkerumun bahkan kalah dengan jumlah manusia yang berkumpul di sana. Sekelompok teman kami terlihat mengerubungi seorang pedagang cumi-cumi. Moluska bertinta itu memang banyak disukai karena rasanya yang enak, serta mudah diolah menjadi makanan bergizi. Beberapa agen penjual ikan terlihat mengangkut ikannya dengan motor di dalam coolbox. Bahkan, seorang bapak tua memenuhi becaknya dengan tumpukan ikan yang menggunung. Perikanan memang perpaduan antara teknologi dan tradisi. Setiap rantai perikanan sangat membutuhkan teknologi yang tepat guna, namun masih sulit dilepaskan dari sisi tradisionalnya. Hmm.. doakan saja ya, semoga kami bisa mengubah itu semua setelah sarjana, sebelum direkrut oleh perusahaan dan bank ternama.

Praktikum lapang kami di Labuan berakhir di sore hari, sekitar pukul lima belas. Aku dan teman-teman sudah kelelahan dan berpeluh, belum terbiasa dengan teriknya daerah pesisir. Bau badan dan keringat kami pun tercampur dengan bau ikan asin dan amisnya ikan segar TPI. Praktikum di lapangan seperti ini memang cukup menguras tenaga. Kami yang terbiasa bekerja di laboratorium tertutup dengan jas labnya, harus bergerak di bawah teriknya matahari menggunakan kaos dan baju lapang. Sebelum berangkat menuju destinasi selanjutnya, kami berfoto dan mengabadikan kunjungan kami di Labuan. Tak lupa, kami juga melakukan ritual “angkat jangkar” yang biasa dilakukan bersama poseidon. Poseidon di sini bukan lah dewa laut yang melegenda itu. Poseidon adalah sarana bagi kami untuk teriak lepas dan melupakan laporan sambil suporteran. Tepat sebelum bus berangkat, kami menggemakan “Satu komando, satu perikanan dan ilmu kelautan” beserta jargon THP yang sudah kami hafal di luar kepala. Luar biasa memang, kalimat sederhana semacam itu berhasil membakar semangat kami kembali. Setelah puas berfoto, kami mengucapkan selamat tinggal kepada pesisir Labuan dan bergerak menuju destinasi selanjutnya, yaitu Pantai Carita.

Pantai Carita ternyata bukan pantai biasa. Pantai Carita adalah pantai penuh cerita. Kami berhasil mengukir cerita bersama THP 53 yang katanya keluarga. Begitu turun dari bus, aku melihat pemandangan yang luar biasa. Aku takjub melihat perpaduan antara gelombak yang naik turun, hamparan pasir cokelat yang bersih, serta bias sinar mentari yang berpadu dengan hangatnya tawa. Beberapa temanku langsung terjun dan berenang di pantai, yang lainnya asyik berfoto ria di pinggir pantai dengan penuh gaya. Aku duduk di tepi pantai, membiarkan jilbab merah mudaku tertiup oleh angin pantai yang menyegarkan. Kedua kakiku merasa tergelitik oleh maju mundurnya ombak di tepi pantai bersama pasir yang mendesir. Aku menikmati harmoni antara deburan ombak dan tawa lepas teman-temanku yang mengalun lembut di telinga. Rasa lelah yang menumpuk setelah melalui empat semester bersama, rasanya hilang terbawa ombak ke laut lepas. Kebahagiaan kami dikala itu berhasil menutupi kantung-kantung mata hasil begadang karena tumpukan laporan.

Pantai Carita telah memberikan banyak cerita untuk dikenang. Masih terbayang rasanya, ketika tubuh-tubuh yang lelah itu berenang lepas terbawa ombak. Mereka berenang timbul tenggelam, pasrah mengikuti naik turunnya gelombang laut yang terus menari. Mereka menunjukkan raut wajah yang lucu ketika muncul ke permukaan karena menelan air asin tanpa disengaja. Berenang di tepi pantai memang menyenangkan, apalagi ketika dilakukan bersama teman yang sudah seperti keluarga. Beberapa temanku yang lainnya asyik berfoto, mencoba mencari sudut dan perspektif terbaik yang dapat menonjolkan sisi cantiknya. Foto-fotonya terlihat apik, diterangi oleh sinar mentari dan hembusan angin yang cukup bersahabat. Pose senyum bahagia, cekrek. Pose hot kayak artis Hollywood, cekrek. Pose nyengir sambil teriak keju, cekrek. Pose apapun terlihat bagus, yang penting terlihat bahagia dan bisa upload di sosial media. Hmm.. bahagia itu memang sederhana.

Setelah puas berfoto dan berenang, aku dan teman-teman mengantre untuk menaiki wahana banana boat di Pantai Carita. Wahana perahu pisang itu berhasil membuat kami tertarik untuk mencoba hal baru. Beberapa temanku meragu, sedikit takut ketika harus dihempaskan di laut berombak dengan perahu berkecepatan tinggi. Namun kalimat “hidup cuma sekali, kalau tidak mencoba sekarang lalu kapan lagi?” berhasil meyakinkan kami. Bermodalkan pelampung dan sedikit rasa nekat, kami naik ke speed boat yang bergerak menuju balon pisang di tengah pantai. Rasanya asyik sekali, menaiki perahu dan menikmati hembusan angin kencang yang membuat gigi kami kering karena senyum yang overdosis. Begitu sampai di tengah, kami berpindah ke atas perahu pisang yang kemudian ditarik dengan speed boat. Rasanya lucu. Beberapa dari kami teriak lepas, sementara yang lainnya teriak dengan sedikit getir karena takut. Setelah dua putaran, kami dihempaskan ke pantai melalui pergerakan speed boat yang dibiarkan menukik. Hal terakhir yang ku dengar sebelum terjatuh adalah teriakan teman-temanku. Tubuh kami terjatuh, aku menelan air asin yang terasa sedikit lengket di kulit. Aku tertawa sambil mengambang di permukaan air karena tertahan oleh pelampung, menarik teman yang sedikit panik di sebelahku. Kami berenang menuju tepian pantai, mencoba merekam momen tadi sambil tertawa bahagia.

Belum sampai di tepian, hujan mengguyur kami dengan derasnya. Kami naik ke pinggir pantai, dipayungi langit mendung dan bermandikan air hujan. Beberapa kawanku mundur dan berteduh di bawah gazebo di pesisir pantai. Yang lainnya tetap berenang di pinggir pantai, mencoba menikmati momen selagi hari belum gelap. Teman-temanku yang laki-laki berlomba untuk berputar di atas pasir, lalu berlari dengan sedikit oleng menuju pantai. Derasnya hujan tidak menghalangi permainan mereka. Hujan justru membuat permainan itu menjadi lebih mengasyikkan. Seorang temanku mengambil payung dan mengajakku duduk di pasir pantai sambil bersantai. Aneh memang, kami melindungi diri dari air hujan dengan payung, padahal sudah basah kuyup terkena air laut. Kami duduk selonjoran sambil menatap laut lepas yang dinaungi oleh awan mendung disore hari. Duduk santai seperti ini, memang momen yang paling tepat untuk membuka hati lewat curahan cerita. Sore itu, aku berbagi ceritaku dengan teman di sebelahku. Sore itu, aku berbagi ceritaku dengan Pantai Carita.

Akhirnya cerita senja yang panjang berlalu juga, digantikan gelapnya malam yang menelan cahaya mentari. Matahari telah lelah dan berganti shift dengan bulan yang jatuh cinta pada malam. Malam itu malam sabtu, malam itu sedang terang bulan. Kami yang awalnya ingin bakar-bakar di malam itu mengurungkan niat karena hujan tak kunjung mereda. Kami pun menikmati makan malam di bawah sinar bulan dan lampu yang meredup, diiringi oleh suara deburan ombak yang berpadu dengan sunyinya malam. Laut di malam hari tampak berbeda seratus delapan puluh derajat dari laut disore tadi. Laut senja begitu hangat dan menyenangkan, laut malam tampak lebih dingin dan kurang bersahabat. Aku semakin jatuh cinta pada laut, kedua sisinya tampak seimbang seperti yin dan yang dalam cerita tradisional Cina.

Malam itu malam sabtu, kami makan malam dengan nasi dingin sambil bercerita tentang hari yang penuh arti di Labuan tadi. Malam itu, kami berbagi tawa dan cerita bersama teman seperjuangan yang sudah seperti keluarga. Satu lagi memori bersama THP 53 telah berhasil kami ukir dengan indahnya. Malam itu terang bulan, kami berdoa untuk teman-teman yang belum bisa membersamai perjalanan kami di hari itu. Kami memanjatkan doa untuk kesehatan dan kebahagiaan mereka. Malam itu, kami juga berdoa untuk kemajuan masyarakat Labuan dan perikanan Indonesia. Malam semakin gelap, kami bergegas untuk angkat jangkar dan  kembali menuju hiruk pikuk kota Bogor. Sabtu, 28 April 2018. Aku dan THP 53 telah menorehkan sejuta cerita di Banten, mulai dari pesisir Labuan hingga Pantai Carita.  


Bogor, 1 Mei 2018.

Sebuah cerita untuk mereka yang jatuh hati,
 pada kenangan di Labuan dan Pantai Carita.
Sebuah cerita untuk dikenang sepenuh hati,
oleh keluargaku di THP lima tiga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpiku untuk Bumiku

Love Story

Gara-gara Make-up