Ruang Sendiri
“Terkadang, kita membutuhkan
ruang untuk sendiri.
Bukan untuk menepi dan
disiksa oleh sepi,
melainkan untuk berdamai
dengan diri sendiri.”
Kriiingg… Kriiingg…
Aku dibangunkan oleh bunyi alarmku yang memekakkan telinga.
Pagi itu pukul 05.00, waktunya beribadah dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
Aku menggeliat malas dan mengerang pelan,
“Ugh, aku benci sekolah.”
Aku tahu, keluhan dan kebencian bukan sesuatu yang baik untuk
mengawali hari. Namun apa boleh buat, aku sudah terbiasa sarapan dengan dua
menu “favorit” ku itu. Aku menyingkap
selimutku yang berkerut tak karuan, menurunkan kaki dari kasur empukku, dan
melangkah ke kamar mandi dengan langkah gontai.
Aku memang tidak pernah bersahabat dengan pagi. Kicauan burung
murai batu ayah setiap pagi bahkan terdengar bagai bel memuakkan yang tak
merdu. Mentari yang mengintip dari balik gorden pun terlihat mengejekku,
menyilaukan mataku yang jarang dihiasi oleh senyuman.
Aku menatap datar tubuh jenjangku di depan cermin. Tubuhku
yang ku baluti dengan seragam putih dan rok panjang berwarna biru tua. Dua bulan
yang lalu, aku melihat refleksi diriku dengan pakaian yang sama, namun raut
wajahku tampak berbeda. Delapan minggu yang lalu, hari pertama aku berseragam
putih biru. Wajahku masih terhiasi oleh harapan dan senyuman, seakan-akan masa
SMP akan menjadi yang terindah.
Aku tersenyum getir. Harapan macam apa yang hanya bertahan dalam hitungan bulan?
***
Pelajaran pertama di hari Senin adalah pelajaran yang paling dibenci
orang-orang. Ya, apalagi namanya kalau bukan matematika. Bagiku, matematika
adalah ironi. Ia menawarkan masalah yang seakan bisa diselesaikan dengan cara
yang pasti. Seakan-akan, semua permasalahan di dunia ini memiliki solusi berupa
simbol dan rumus. Matematika tidak mengerti, bahwa sesuatu bisa muncul dengan
cara yang begitu abstrak. Penyelesaiannya pun tak pasti, bahkan harus
melibatkan hati.
Hmm.. aku pasti melantur lagi. Lamunanku terbuyarkan oleh
deringan bel tanda jam istirahat. Dari seluruh jam pelajaran yang ada di
sekolah, jam istirahatlah yang paling ku benci. Aneh sekali bukan? Kebanyakan
remaja sepertiku justru memuja jam istirahat. Mereka bisa berekspresi dan
mengobrol sekeras-kerasnya di kelas, berwisata kuliner di kantin, atau hanya
menghabiskan waktu dengan bersantai di sekitar lapangan sekolah. Semuanya
terlihat bahagia, karena memiliki waktu yang dapat dibagi bersama teman-teman
terdekatnya.
Aku diam tak berkutik di bangku kelasku, memikirkan cara untuk
membunuh waktu di jam istirahat. Kemarin aku mencari sesuatu yang menarik di
perpustakaan, kemarin lusa membeli roti lapis dan makan di taman, kemarinnya
lagi hanya tidur di kelas. Hari ini aku harus berbuat apa?
Semua aktivitas itu memang ku lakukan sendirian. Bukan karena
aku yang menutup diri dan tak mau bersosialisasi. Aku hanya bosan dengan
senyuman palsu yang mereka lontarkan kepadaku. Mereka yang tertawa bersamaku
ketika aku mengekor di belakangnya, namun menggunakan lidah tajamnya di
belakangku. Aku lelah menanggapi tawa yang penuh dengan paksaan. Aku muak
dengan pertemanan yang terasa hanya sepihak.
Menurutku, sekelompok orang bisa berteman atas dasar dan unsur
tertentu. Nyaman bisa bertawa bersama, nyaman bisa berkeluh kesah bersama, atau
bagi remaja tanggung seperti kami, nyaman bisa bergosip bersama. Semua kriteria
itu mengandung dua unsur yang pasti, yaitu kenyamanan dan kebersamaan.
Sementara selama ini, pertemanan yang ku rasakan hanya mengandung nomina
kebersamaan.
Sebenarnya, aku tidak mengerti standar pertemanan masa kini.
Entah apa yang membuatku begitu sulit bergaul dengan mereka. Apakah aku terlalu
nyaman dengan ruangku sendiri? Ruang sendiri yang aman tanpa celotehan
menyakitkan dari mulut mereka. Ruang sendiri yang sunyi, tanpa tawa yang begitu
menyayat hati. Atau ruang sendiri yang terlindung dari kepalsuan yang
menyesakkan.
Pikiran-pikiran itu kembali menghanyutkanku di sudut kelas
siang itu. Apakah aku merasa nyaman dengan kesendirian ini?
Jawabannya jujurnya
adalah tidak.
Kingsley David telah membuktikan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan
kehadiran orang lain, dan kurasa Dia benar. Faktanya, aku sampai pada titik dimana
aku merasa bosan dalam ruanganku sendiri. Aku muak bersandiwara dengan diriku
sendiri, seakan semuanya baik-baik saja. Aku lelah berdebat dengan diriku dalam refleksi, dan mulai menyalahkan segala aspek yang membuatku seperti ini.
Masih di posisi yang sama, aku menatap bangku-bangku kelas
yang berantakan tak karuan. Kelas ini begitu kosong, seakan menawarkan diri
sebagai ungkapan metafora dari hatiku. Aku tersiksa oleh pikiranku yang begitu
kalut. Tanpa kusadari, bangku yang kutatap semakin kabur. Penglihatanku mulai
terganggu oleh sesuatu yang tak lagi asing. Tanpa kusadari, aku menitikkan air
mata.
Aku bergegas dan berlari kencang ke bagian taman belakang
sekolah yang sepi. Aku tidak ingin ada yang melihatku hancur seperti ini. Kali
ini, aku akan membiarkan diriku menghampiri sepi. Akan kubiarkan ia menyiksaku
sepuasnya, agar ia cepat bosan dan memutuskan untuk segera pergi.
***
Aku akan menghabiskan
25 menit sisa waktu istirahatku bersama sepi. Air kolam tak beriak yang kutatap
saat itu, merefleksikan wajahku yang tak karuan akibat tercoreng air mata. Aku melirik iri ke arah gerombolan ikan yang
sedang berenang dengan tenang. Ikan yang bahkan tak bisa menangis, memiliki
teman yang siap menghiburnya. Mereka berkolaborasi dalam tarian kebersamaan,
mengibaskan ekornya dengan gemulai di dalam kolam. Pemandangan yang tampak
sangat kontras dengan diriku yang begitu menyedihkan.
Aku kembali
terisak, lalu merasakan pergerakan kecil di sampingku. Aku begitu larut dalam
pikiran, sampai tidak menyadari kehadiran seorang perempuan yang duduk
bersamaku di pinggir kolam. Wajahnya tampak ramah, tatapannya begitu tenang
seperti air dalam kolam. “Maaf ya, aku gak
bermaksud ganggu. Lanjutin aja nangisnya, sepertinya kita butuh hal yang sama
saat ini.”
Aku masih
sesenggukan, belum sanggup berkata-kata. Hal yang sama apanya? Orang dengan paras
ramah seperti itu tidak mungkin frustasi karena sendirian dan kesepian sepertiku.
Seakan membaca kebingunganku, ia menjelaskan dengan suara lembutnya, “Kamu juga kesini karena butuh ketenangan,
kan?”
Aku terdiam
sejenak dan menghela napas panjang. Tentu saja, orang seperti dia tidak mungkin
berada dalam situasi yang sama denganku. Aku tidak mengenal perempuan ini,
namun merasa pernah melihatnya di koridor lantai satu. Anehnya, aku tidak
merasa terusik dengan kehadirannya. Tatapannya yang menenangkan dan suaranya
yang lemah lembut, seakan memintaku untuk percaya kepadanya. “Mungkin,” aku menjawab lirih, suaraku
serak karena terlalu lama menangis.
Dia menoleh perlahan
ke arahku dan menyodorkan sekotak tisu, “Udah
kenyang belum nangisnya? Kalo udah, lap dulu nih biar gak bengkak matanya.”
Dengan
gerakan malu-malu, aku mengambil sehelai tisu dari kotaknya dan mulai menyeka
air mataku. Dia tersenyum lembut sambil mengamatiku, lalu menatap lurus ke arah
kolam. “Kamu tahu gak? Terkadang, manusia
memang butuh ruang untuk sendiri kayak gini. Bukan untuk menepi dan disiksa
oleh sepi, tapi untuk berdamai dengan diri sendiri.” Kalimat itu seolah
menohokku tepat di ulu hati. Aku baru paham sekarang, selama ini aku salah
dalam menggunakan ruang sendiri.
Aku menatap
wajahnya dan mulai mengamati. Garis wajahnya menunjukkan bahwa ia berusaha
untuk tenang, namun aku tahu pikirannya sedang melayang entah kemana. Mungkin,
dia juga sedang memiliki masalah yang rumit. Mungkin, selama ini aku
tidak benar-benar bermasalah sendiri. Aku memberanikan diri untuk bersuara, “Emangnya kamu lagi berantem sama dirimu
sendiri? Sampai harus berdamai gitu.”
Dia tertawa
perlahan, tampak gemas denganku yang tak paham aplikasi dari kalimatnya yang
penuh ironi. “Kita semua pasti punya
konflik dalam diri kita sendiri kan? Terkadang kita terlalu sulit untuk
memaafkan diri sendiri dan mulai mencari kambing hitam. Seakan-akan orang lain
yang salah, padahal masalahnya ada di sini.” Dia menepuk dadanya perlahan.
Aku tersenyum
getir mendengar penjelasannya. Perempuan ini bisa baca pikiran ya? Bagaimana
mungkin kata-katanya bisa begitu tepat sasaran? Dia ini sedang menceramahi
dirinya sendiri, atau sedang mencurahkan isi hatiku? Melihat reaksiku, sudut
bibirnya terangkat. “Kenapa mukanya gitu?
Ngena banget ya?”
Aku terdiam dan menghela napas lagi, mulai merenungkan
perbuatanku yang membuatku kesepian seperti ini. Mungkin dia benar, yang salah
bukan mereka. Kesalahannya terletak pada diriku yang belum mau mengapresiasi
kehadiranku sendiri. Kesalahannya ada pada diriku yang tidak ingin berubah.
Diriku yang terlalu malas untuk keluar dari ruang sepi yang membuatku terlena.
Matanya berkilat tenang, menungguku mengumpulkan keberanian
untuk berbicara. Sudah lama sekali aku tidak berbicara dari hati ke hati
seperti ini. Sebenarnya aku lelah memendam semuanya pikiran dan perasaanku
sendiri. Sudah lama sekali aku ingin mengungkapkan isi hatiku kepada media lain
selain kertas dan pena. Mungkinkah dia orang yang tepat untuk ku jadikan teman?
Aku mulai meyakinkan diriku sendiri dan membuang keraguanku.
Kesempatan belum tentu datang dua kali, mungkin memang tidak ada salahnya
mencoba. “Hmm.. kayaknya kamu benar. Tapi
memaafkan diri sendiri itu gak gampang kan?”
Respon dariku
berhasil mengembangkan senyuman tulus di wajahnya. “Betul banget. Tapi, gak mudah bukan berarti gak bisa kan?” Aku
membalasnya dengan anggukan pelan, lalu mencoba untuk tersenyum simpul. Otot tersenyum
di wajahku yang sudah lama kaku, akhirnya bisa berkembang perlahan.
Aku mulai bercerita tentang kondisiku di kelas kepada
perempuan ini. Aku masih belum mengetahui namanya, namun setiap untaian kata
terasa mengalir begitu saja di hadapannya. Setelah sekian lama, akhirnya aku
merasakan salah satu unsur pertemanan yang kudambakan. Anehnya, kenyamanan itu
datang begitu saja bersama orang yang beberapa menit lalu muncul di hadapanku
secara tiba-tiba. Mungkin Tuhan merasa iba dan tak ingin aku berputus asa,
sehingga ia mengirimkan salah satu malaikatnya kepadaku.
Aku menghabiskan dua puluh menit sisa dari jam istirahatku
bersama anak perempuan yang ternyata bernama Lala ini. Perbincangan itu
membuatku lupa waktu, hingga akhirnya deringan bel sekolah memaksa kami untuk
berpisah. Dia bangkit dari tempat duduknya di pinggir kolam dan menepuk-nepuk
rok birunya. “Sampai berjumpa lagi ya,
Mita.” ucapnya singkat dan ramah, lalu ia melangkah pergi meninggalkanku.
Belum sampai lima langkah berjalan, Lala berbalik ke arahku
dan tersenyum, “By the way kamu asik
banget kok orangnya, Ta. Kamu cuman perlu lebih percaya diri dan menghargai
diri sendiri. Gimana orang mau menghargai kamu, kalau kamunya aja benci dan
menilai rendah dirimu sendiri? Aku siap bantu kamu kok Ta. Kalau kamu butuh
aku, samperin aja ke kelas 7E. Oke?” Aku membalasnya dengan anggukan dan
senyuman yang mantap, lalu melambaikan tanganku kepada gadis yang periang itu.
Setelah dua bulan terjerat dalam kesendirian, 25 menit di hari
itu adalah hal yang sangat patut untuk ku syukuri. Setiap detiknya begitu
berarti. Pada setiap detik dalam 25 menit yang berharga itu, mengalirlah
ceritaku bersama seseorang yang pantas ku sebut teman. Terima kasih La, kamu
telah berhasil meruntuhkan tembok tinggi yang selama ini mengurungku bersama
sepi.
***
Kriiingg… Kriiingg…
Aku dibangunkan oleh bunyi alarmku yang terdengar sedikit
lebih merdu. Pagi itu pukul 05.00, waktunya beribadah dan bersiap untuk pergi
ke sekolah. Aku menggeliat manja di kasur empukku dan melihat ke layar telepon
genggamku yang berkedip. Sebuah pesan singkat muncul, membuatku tersenyum
secara spontan.
“Selamat pagi, Mita. Semoga hari ini kamu tetap bahagia.
–Lala-”
Hari yang baik harus diawali dengan sambutan dan senyuman yang
baik, bukan? Aku menyingkap selimutku dan melipatnya dengan rapi, lalu mulai melangkahkan
kakiku ke kamar mandi sambil bersenandung dengan pelan. Ternyata hal sederhana
seperti senyuman, dapat membawakan harapan yang besar akan hari yang indah.
Sudah seminggu sejak pertemuanku dengan Lala. Sejak itu, aku
mulai bersahabat dengan pagi. Kicauan burung murai batu ayah setiap pagi, kali
ini terdengar bagai simfoni merdu yang menenangkan. Mentari yang mengintip dari
balik gorden memberikanku amunisi tambahan untuk menjalani hari, memompa
semangatku untuk pergi ke sekolah.
Aku menatap ringan tubuh jenjangku di depan cermin. Tubuhku
yang kubaluti dengan seragam putih dan rok panjang berwarna biru tua. Seminggu yang
lalu, aku melihat refleksi diriku dengan pakaian yang sama, namun raut wajahku
tampak berbeda. Kali ini, aku telah mempelajari cara sederhana untuk mengukir
senyuman di wajahku.
Masa-masa kelam dalam perjalanan hidupku sebagai seorang
remaja tanggung akhirnya terlewatkan. Aku hanya butuh sedikit dorongan dari
seorang teman, yang membantuku untuk menyingkirkan pikiran negatif dari otak
ku. Seorang teman seperti Lala, yang siap mengusirku dari ruang kesendirianku.
Setiap pagi, aku menatap bayangan diriku di depan cermin dan
berkata, “Percayalah Mita, semuanya akan baik-baik saja. Berbahagialah, dirimu
pantas untuk mendapatkannya.”
Mulai hari ini dan seterusnya, aku tidak akan membiarkan
diriku tenggelam dalam ruangku sendiri. Mungkin suatu saat nanti, aku akan
membutuhkan ruang sendiri untuk bersembunyi dari hiruk pikuk peradaban yang
terkadang begitu menyesakkan. Atau mungkin, aku akan membutuhkannya untuk
menuangkan air mata dan pikiran yang tak sempat terluapkan.
Satu hal yang kutahu pasti. Aku membutuhkan ruang untuk
sendiri bukan untuk kembali menepi dan disiksa oleh sepi. Aku akan mencarinya
lagi, ketika aku memerlukan ruang untuk berdamai dengan diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar