1 Rasa, 2 Mimpi
"Rasa dan mimpi adalah sebuah anugerah. Namun jika salah satunya harus kau pilih, hal apa yang akan kau raih?"
Pukul 07.00 pagi. Gadis itu terbangun dengan
pemandangan putih di langit-langit kamarnya. Matanya mulai menelusuri satu
persatu benda yang ada di sekitarnya. Sunyi. Suara yang didengarnya hanya
berasal dari sebuah layar dengan garis-garis yang tampak bergerak naik turun,
yang terus berkedip dan membunyikan dering yang tak kunjung berhenti. Ia
dikelilingi oleh perabotan yang tertata rapi dan terlihat begitu bersih. Sebuah
saluran dengan cairan putih mengalir di sisinya, tampak dikaitkan pada jarum
yang menancap di tangannya.
Gadis itu mencoba menggerakkan tangannya untuk
mengusap kepala seseorang yang tampak tertidur di sebelahnya, namun tangan
mungilnya terlalu kaku untuk meraihnya. Ia pun mencoba membuka mulutnya, namun
yang keluar hanyalah erangan pelan yang terlalu parau untuk didengar. Ia bingung.
Apa yang terjadi sebenarnya? Ia menggerakkan kakinya yang terjulur di ranjang
yang terasa perih dan justru membuatnya merintih. Hingga akhirnya, seorang pria
di sebelahnya terbangun dan meneriakkan namanya. “Riva, akhirnya kamu bangun
juga! Dokter, dokter!!”
***
Sudah
seminggu lamanya, sejak pertama kali aku terbangun di sebuah rumah sakit di
pusat kota. Saat itu, satu-satunya hal yang teringat dalam memoriku adalah
kilauan lampu yang muncul secara tiba-tiba, bunyi klakson yang memekakkan
telinga, serta dentuman keras yang menghantamku begitu saja. Rentetan peristiwa
itu berkelebat begitu cepat. Kehidupanku yang dahulu tenang dan baik-baik saja,
berubah dalam rentang waktu yang tak terkira. Kecelakaan itu, telah mengubah
segalanya.
Aku
masih terduduk di sebuah kursi roda, menatap secercah cahaya yang mengintip
dari balik jendela. Cahaya mentari menyambutku, seakan tersenyum dan mengatakan
bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun
bagiku, cahaya itu tampak begitu mengejek dan membuatku tersiksa. Bagaimana
tidak? Hidupku yang dahulu begitu sempurna, sekarang penuh dengan cacat yang
tak terkira. Tanpa sadar, tetesan air mata mulai mengalir di pipiku. Kecelakaan
itu, telah merenggut mimpiku.
“Riva! Aku bawa
sesuatu buat kamu!” suara berat Bagas membuyarkan lamunanku. Aku buru-buru
mengusap tangisku, dan memaksakan senyum yang terasa begitu getir. Bagas adalah
satu-satunya alasanku untuk tetap hidup dan bertahan dengan keadaanku. Pria itu
datang ke rumahku setiap hari dengan senyumnya yang semanis madu. Mencintai
pria itu, adalah candu bagiku. Cintanya terasa seperti kafein, yang berhasil
membangkitkan semangatku untuk menjalani hari-hari beratku. Semenjak kecelakaan
itu, ia rutin datang ke rumahku hanya untuk melihat tawaku.
Aku membalikkan tubuhku yang terduduk di kursi roda,
dan mulai melontarkan senyuman tipis kepadanya. Ia berlari ke arahku, memelukku,
dan meletakkan seikat mawar merah di pangkuanku. Aroma tubuhnya yang manis
seperti campuran vanilla dan kopi memenuhi paru-paruku. Ah, ia memang selalu
berhasil membuatku merindu. Ia mulai mengusap kepalaku dan menanyakan kabarku,
sementara aku menjawabnya tanpa ragu. “Aku
baik-baik saja Gas. Percayalah, aku baik-baik saja.”
Ya. Aku baik-baik saja selama kamu bahagia di sisiku,
Bagas.
***
Sore itu, angin semilir meniupkan rambut ikal panjang
yang kubiarkan terurai. Bagas meletakkan kepalanya di pangkuanku, sementara aku
membelai rambutnya sambil menatap dedaunan yang jatuh beterbangan di hadapanku.
Kami menikmati senja bersama di sebuah bukit di pinggir kota. “Aku selalu suka menikmati senja bersama kamu
Riv. Aku suka sekali, kombinasi antara semburat merah lembayung dan jingga yang
saling berpadu dan menyatu. Merah muda dan jingga itu warna yang bertabrakan,
tapi ketika mereka disatukan.. Keren banget Riv.” Bagas dan kalimat
puitisnya itu, selalu berhasil membuatku terpaku.
Bagas selalu bilang padaku, bahwa suatu saat ia akan
menuliskan satu buku khusus untukku. Ia selalu bermimpi untuk bekerja di sebuah
perusahaan penerbit yang menghasilkan tulisan-tulisan jurnalistik yang bermutu.
Baginya, literasi bukan sekedar seni, melainkan hidup yang memiliki nyawanya
tersendiri. Perihal literasi, aku dan Bagas adalah dua hal yang bertolak
belakang. Aku lebih suka mendengarkan kata-kata indah dari mulut Bagas,
dibandingkan harus membaca lembaran kertas tebal yang membuatku sakit mata.
Terkadang ia gemas dan memaksaku untuk membaca, dan aku menurutinya. Aku hanya
membaca buku yang Bagas berikan untukku saja.
Bagas pernah bertanya, tentang masa depan dan mimpiku yang
sebenarnya. Aku yang hidup sebatang kara, memang tak pernah punya mimpi besar
sepertinya. “Aku hanya ingin hidup
bahagia dengan orang yang kucinta, Gas. Aku juga ingin mengekspresikan diriku
yang sebenarnya. Mungkin bukan melalui kata-kata sepertimu Gas, aku lebih suka merangkai
kata melalui gerak-gerik tubuhku dalam tarian. Ya, aku ingin sekali jadi
penari.” Bagas membalas jawabanku dengan senyuman dan tatapan yang dalam. Sinar
yang terbersit di matanya berbicara penuh makna, seakan mengatakan, “Aku akan
memastikan mimpimu, mimpiku, dan mimpi kita terwujud, Riv.”
***
Malam
itu, malam minggu. Aku masih terduduk di kursi rodaku, memandangi wajah Bagas
yang tertidur dengan pulas di hadapanku. Aku selalu jatuh cinta pada guratan
wajahnya yang terasa begitu teduh ketika ia tertidur. Aku mengusap dahinya
perlahan, merasakan kerutan yang mulai tergores di dahinya. Ini sudah dua bulan
semenjak perubahan drastis yang terjadi dalam hidupku. Akhir-akhir ini, Bagas
selalu terlihat kelelahan dan memaksakan senyumnya untukku. Ia mulai tampak
seperi pria dewasa yang terlalu banyak pikiran. Dan aku merasa, bahwa semua ini
adalah salahku. Aku merasa bahwa diriku adalah beban terberat dalam hidupnya.
Aku
tersenyum getir, berusaha menelan pernyataan pahit yang baru saja kulontarkan
sendiri. “Tentu saja semua ini karena mu, bodoh. Bagas pasti lelah mengurus
orang cacat sepertimu setiap hari,” ucap hatiku miris. Aku termenung,
membayangkan masa-masa indah yang pernah kita lewati bersama. Kenangan kami dan
indahnya langit sore yang kami pandangi bersama di atas bukit setiap hari Jumat.
Kenangan tentang warna-warni canda dan tawa yang kami nikmati bersama untuk
mengisi hari. Serta kenangan tentang langkah-langkah yang kami pijakkan bersama
untuk menggapai mimpi.
Mengenang semua memori itu membuat hatiku terasa
teriris. Karena pada akhirnya, kita tidak akan bisa kembali ke masa lalu, kita
hanya bisa mengalir bersama waktu. Dan aliran waktu bagiku saat ini, adalah
aliran deras yang menerjang dan menghantamkan kepalaku ke batu kali. Mimpiku
telah pupus oleh takdir Tuhan yang menyesakkan. Aku tidak akan pernah bisa
menari lagi, sementara Bagas akan membusuk bersamaku di sini. Aku yakin, Bagas
dan hatinya yang lembut, tak kan pernah meninggalkanku sendiri. Ia akan
merelakan apapun untuk menemaniku di sini. Ya, apapun. Sebesar itulah cinta
kami.
Kedipan ponsel genggam Bagas yang tergeletak di sudut
meja membuyarkan lamunanku. Aku menggerakkan kursi rodaku ke arah benda itu,
dan mulai meraihnya. Ini sebuah pesan dari Adit, sahabat sekaligus teman
sekantor Bagas yang sering ia ceritakan. Dalam pesan itu tertulis, “Gas, lo yakin gak mau pindah ke New York? Om
gue yang kerja di New York Times nanyain lagi nih. Ini kesempatan emas loh Bro,
coba pikirin lagi keputusan Lo. Gue tunggu jawabannya ya!”
Aku menatap pesan itu dengan getir dan mulai meringis. Lidahku kelu, tanganku gemetar menggenggam ponselnya itu. Aku tak kuasa menahan luapan emosi yang tiba-tiba membanjiri,
dan perlahan bertransformasi menjadi tangis. Isak tangisku membangunkan Bagas
dari tidurnya, ia menghampiriku dengan wajah sedikit panik. “Riv, kamu kenapa? Kok tiba-tiba nangis? Apa
yang sakit Riv? Ayo aku anter ke rumah sakit sekarang!” Tubuhku bergeming,
tak mampu menyerap semua informasi yang muncul begitu tiba-tiba. Bagas melihat
pesan yang ada dalam genggamanku, lalu meremas bahuku yang begitu gemetar.
“Riv, biar aku
jelaskan. Ini gak seperti apa yang kamu bayangkan. Aku gak mungkin pergi ke New
York, aku gak bisa ninggalin kamu sendirian di sini. Kamu percaya aku kan Riv?
Aku gak akan ninggalin kamu Riv, gak akan.”
Ia menatap mataku yang sembab, dan mulai berusaha menenangkanku. Jawabannya
itu, justru membuatku semakin terisak. “Apa
yang telah kamu lakukan, Bagas? Kenapa kamu seperti ini padaku? Bodoh! Kenapa
kamu merelakan mimpimu demi aku?”
Bagas terpaku menatapku, tak percaya dengan kalimat
yang baru saja kulontarkan. “Kamu kan
tahu, aku nggak mungkin meninggalkan kamu sendiri Riv, aku sayang sama kamu.
Aku gak mau kamu menderita sendiri di sini. Aku nggak sanggup melihatmu seperti
itu Riv, aku nggak sanggup.” Tatapan Bagas begitu nanar, suaranya bergetar.
Aku lebih tidak sanggup lagi melihatmu seperti ini, Bagas. Kenapa kamu
merelakan semuanya demi gadis yang tak berdaya di kursi roda? Aku hanyalah
serpihan kaca yang telah hancur berkeping-keping, yang tak perlu lagi kau susun
untuk menjadi utuh. Aku sudah selesai, dan aku tidak ingin kamu mengorbankan
jarimu untuk tergores oleh serpihan itu, Bagas.
Aku terus sesenggukan, sementara Bagas menatapku
gusar. “Baru kali ini aku melihat kamu
begitu bodoh, Bagas. Kemana perginya logikamu itu? Kamu pikir kamu akan bahagia
jika membusuk di sini bersamaku? Aku ini sudah hancur Gas.. Aku sudah tidak
punya harapan lagi, dan kamu dengan enaknya membuang harapanmu begitu saja?
Kamu bodoh Gas.. Bodoh!!” Bagasku yang begitu tegar, kini mulai menangis
dan bergetar. Aku menyuruhnya pergi keluar, dan memintanya untuk memikirkan hubungan
ini sekali lagi. Mimpi kita adalah samudera yang terlampau luas untuk diselami,
namun aku tak kan pernah sanggup untuk mengarunginya lagi.
***
Pukul
09.00, Senin pagi. Aku termenung di atas kursi rodaku, bersama sepi yang
menemani. Sudah tiga bulan semenjak aku mengusir Bagas pergi, dan aku terus berada
dalam ruangku sendiri. Ia terus berusaha menghubungiku lewat telfon dan sosial
media, yang tak pernah sekalipun ku tanggapi. Terkadang, ia bahkan menghampiri
rumahku dan menunggu di depan pintu yang tak pernah terbuka lagi.
Demi Tuhan, aku tidak pernah bermaksud menyakiti
hatinya seperti ini. Semua rentetan peristiwa ini memang terlalu berat untuk
kuarungi sendiri. Namun menyeret Bagas ke dalam aliran takdirku ini, adalah hal
yang paling tidak ingin ku lakukan dalam hidupku ini. Aku menatap foto kami
yang tertempel dalam sebuah figura kecil yang bertengger di atas meja. Gambaran
senyumku yang terpampang, tampak merekah seperti mawar merah yang ku genggam
saat itu. Mata kami saling bertemu, mengisyaratkan kilauan cinta yang bersatu
padu. Ketahuilah, Bagas.. Dari pada menyeretmu ke dalam jurang kehidupanku ini,
lebih baik aku mati.
***
Pukul
09.00, Jumat pagi. Aku duduk termenung di ruang kerjaku, sembari mengetukkan
bolpoin hitamku ke atas meja. Aku bosan. Biasanya, Riva selalu mengirimkan
pesan untuk mengingatkanku mengenai ritual rutin kami sore nanti. Ya, menikmati
senja di Jumat Sore bersama Riva adalah salah satu kenikmatan yang tak ingin ku
lewati. Bagaimana tidak? Hangatnya senyuman Riva dan semburat warna di langit
senja adalah hal yang tak kan pernah bisa kubeli. Aku tak pernah menyangka,
rutinitasku itu akan menjadi sebuah memori. Ah, gadis itu selalu berhasil
membuatku merindu.
Sudah
lebih dari tiga bulan, Riva mengabaikanku dan memilih untuk menyiksa dirinya
sendiri. Berkali-kali aku mencoba untuk memahami, namun tak kunjung mengerti
mengapa ia membiarkan hubungan kami seperti ini. Aku hanya ingin Riva bahagia,
aku akan merelakan apapun untuknya. Aku bahkan rela menanggalkan kesempatanku
untuk bekerja di luar negeri. Aku tidak ingin meninggalkannya sendiri. Namun,
penolakanku terhadap pekerjaan itulah yang membuat hubungan kami berada di
ujung tanduk seperti ini.
Lamunanku
terbuyarkan oleh sebuah ketukan di daun pintu, yang kemudian terbuka dan
memunculkan sosok sahabat sekaligus rekan kerjaku, Adit. Ia datang dengan
tatapan yang sedikit kosong, dengan membawa secarik amplop di tangan kanannya.
Adit duduk menghadapku, lalu menyerahkan amplop itu padaku. “Gas, Lo seriusan
nggak mau pergi ke New York?” Aku mengerang pelan, tahu pasti kemana pembicaraan
ini akan mengarah. Sudah berbulan-bulan ia memaksaku untuk memilih dengan
bijak, dan jawabanku tetaplah tidak.
“Gue yakin, lo akan berubah pikiran setelah
baca surat yang ada di dalam amplop itu. Maaf suratnya harus gue buka dulu, gue
cuma ingin memastikan bahwa sahabat gue akan baik-baik saja. I really am sorry,
Bro.” Adit menatapku sedih, lalu pergi keluar ruangan dengan langkah
gontai. Tatapanku membeku, saat melihat nama pengirim yang tertulis di pojok
amplop putih itu. Perasaanku bercampur aduk melihat tulisan tangan yang
tergores di amplop. Surat ini dari Riva. Di satu sisi, aku senang mengetahui
bahwa Riva mulai mengabariku lagi. Namun di sisi yang lain, aku khawatir
melihat reaksi Adit terhadap isi surat itu.
Aku
membuka amplop itu perlahan, isinya dipenuhi oleh secarik kertas yang terlipat
dengan rapi. Kertas itu berwarna putih kekuningan, dengan semilir aroma kertas
dan lavender. Harum lavender, adalah
aroma khas Riva. Ah, aku rindu sekali. Aku harap, Riva memaafkanku di surat
ini. Aku membuka lipatan kertas itu, dan mulai memandangi tulisan tangan Riva
yang tampak dituliskan dengan gemetar.
“Teruntuk Bagas,
kekasihku yang akan selalu kucintai.
Aku tidak pandai
menulis surat dan kata-kata, karena itu adalah keahlianmu. Mimpimu untuk
menjadi seorang penulis, adalah hal yang selalu membuatku semakin jatuh cinta
padamu. Aku ingat, saat pertama kali kamu menuliskan puisi untukku di bangku
kuliah dulu. Pada saat itu, aku senang sekali. Padahal, tulisanmu itu tampak
seperti kata-kata gombal yang seakan tak berarti. Tapi aku tahu, semua yang kau
tuliskan untukku adalah kata-kata yang kau tuai dari hati.
Bagas, aku
mencintaimu, selalu. Maafkan aku, aku tidak bisa membiarkanmu terseret dalam
aliran takdirku yang sudah hancur berkeping-keping. Aku tak kan pernah bisa
menari lagi. Ragaku tak kan pernah sanggup menggapai mimpi. Hidupku tak lagi
memiliki harapan, dan aku tidak ingin membiarkanmu menghapus mimpimu demiku.
Maaf Bagas, aku
harus pergi. Aku telah mendonasikan seluruh tubuhku untuk mereka yang masih
memiliki mimpi. Setidaknya, aku ingin mereka merealisasikan mimpiku yang tak
kan pernah terjadi. Jadi, kumohon Bagas, jangan berhenti. Pergilah ke New York
atau kemanapun yang kau inginkan, dan raihlah mimpimu itu.
Salam sayang,
Riva.
Semoga kita akan
bertemu lagi di surga-Nya nanti.”
Aku
terdiam tak percaya, melihat selembar kertas berisi pesan terakhirnya yang
dikirimkan padaku. Aku tak menyangka, gadis itu memutuskan untuk mengakhiri
hidupnya demi mimpiku. Aku tak percaya, ia menyerah begitu saja dan pergi
meninggalkanku. Bagaimana aku bisa hidup tanpamu, Riv? Dadaku terasa begitu
sesak, memikirkan jiwa raganya yang kini tiada. Aku tak sanggup menahan air
mataku yang mulai membanjiri. Riva yang begitu kucintai, kini telah pergi. Dan
aku, harus tetap hidup dan meraih mimpi kami. Aku harus berjalan tanpa Riva di
sisi. Ya, aku akan tetap melangkah demi ia yang kucintai, meskipun aku harus
tertatih sendiri.
Komentar
Posting Komentar