Saputangan Jessi

oleh: Wafa Istiqomah
Jessi, seorang anak dengan keterbatasannya yang selalu dibicarakan teman-temannya. Ya, Jessi memang seorang anak yang tidak bisa berjalan karena penyakit polio yang menyerang kakinya sejak kecil. Sejak bersekolah di SMA Bakti Negara, ia menjadi anak yang lebih periang dari sebelumnya. Jessi tidak mau di sekolahkan di SLB. Sebelumnya, Jessi memang pernah bersekolah di sebuah yayasan  SLB di kotanya, tetapi dia malah tidak mau belajar di sana. Akhirnya, Tante Lita, Orang yang mengurus Jessi sejak orangtuanya meninggal, memindahkan Jessi ke SMA Bakti Negara, sekolah Jessi saat ini.
Orangtua Jessi memang sudah lama meninggal. Waktu, Jessi berumur 5 tahun, Ibunya mengalami kecelakaan, dan meninggal ditempat kejadian. Setelah itu, Ayahnya sangat shock mendengar berita tersebut, penyakit jantungnya pun kambuh. Tak lama kemudian Ayahnya meninggal di rumah sakit.
Besok adalah hari pertama dia bersekolah di SMA Bakti Negara. Dia akan menjadi murid baru di sekolahnya itu. Awalnya, teman-teman Jessi tidak mau bermain dengan Jessi. Mereka takut direpotkan oleh keadaan Jessi yang tidak normal tersebut. Malah, sebagian anak meledek Jessi dengan kasar. Tante Lita tak segan-segan memarahi anak-anak yang meledek Jessi. Tapi, Jessi selalu marah apabila Tante Lita memarahi anak yang meledeknya “Kenapa sih tante selalu marahin temen Jessi?” ucapnya kepada tente Lita. “Lho? Apa tante salah? Sudah seharusnya kan tante membela kamu.” Jawab tante Lita bingung. Jessi meninggalkan tante Lita dan menuju kamarnya.
Jessi memang tidak pernah marah apalagi dendam terhadap temannya yang suka meledeknya. Pernah seorang temannya melemparnya dengan es krim. Dia malah tersenyum dan berkata, “Lho? Es krimnya gak mau dimakan lagi ya? Sayang banget, padahal aku lihat kamu baru beli es krim ini?” Setiap ada orang yang meledeknya, dia hanya membalas dengan senyuman dan kelembutan.
 Lama-lama teman-temannya semakin kesal dengan Jessi. Suatu hari, saat Jessi sedang memakan bekal yang dibawanya dari rumah, Seorang anak menyenggolnya dan makanan Jessi tumpah karenanya, padahal Jessi baru makan beberapa suap saja. Anak itu tersenyum sinis kepadanya. Dan, saat itu juga, dia menginjak sendok Jessi yang terjatuh sampai bengkok, lalu meninggalkan Jessi dengan makanannya yang tumpah itu. Jessi tidak marah, dia malah memunguti makanannya yang jatuh lalu menaruhnya di tempat makanannya kembali. Untuk  menghilangkan rasa sedihnya, dia memeluk sebuah saputangan, lalu kembali ke kelas.
Sepulang sekolah, tante Lita menawarkan makanan kepada Jessi. Tentu saja Jessi mau, dia memakannya dengan lahap. “Wah... Jessi, kamu makannya lahap sekali.” Tanya tante. “Iyalah aku kan belom...” ups... Jessi keceplosan. “Belum apa? Belum makan? Tadi kan tante udah bawain makanan buat kamu. Dan, tante liat makananmu udah abis.” Ucap tante Lita. “Apa jangan-jangan... Makanan mu ditumpahin ya sama temen mu?”sambung tante Lita cukup keras. Jessi menunduk “Jessica.. kapan kamu mau membela dirimu? Tante memang mengajarkan mu untuk tidak menjadi jagoan. Tapi kamu harus membela dirimu, jangan biarkan orang lain menindasmu Jessi?” ucap tante Lita. “Oh... Yasudahlah... istirahatlah. Pasti kamu lelah sekali.” Sambung tante Lita mengalihkan pembicaraan karena melihat Jessi mulai menangis.
Keesokan harinya, tante Lita membawakan Jessi dua buah bekal. Untuk jaga-jaga kalau makanan Jessi tumpah. “Hallo Jessi!” ucap seorang anak. “Hai! Namamu siapa?” tanya Jessi. “Namaku Elena. Aku kagum denganmu. Setiap ada orang yang meledekmu, kamu tidak pernah marah.” Ucapnya. Jessi tersenyum, “darimana kamu tahu namaku?”. “Hampir semua anak di sekolah ini tau namamu.”jawab Elena. Jessi tidak menyangka masih ada yang peduli terhadapnya. Dia pikir, tidak ada yang mau berteman dengannya karena dia lumpuh.  
 Jessi mengajak Elena ke rumahnya, setelah di izinkan oleh mamanya, Elena mau ikut bermain ke rumah Jessi. “Bukannya kamu pernah membenciku?” tanya Jessi heran. Elena memang biasanya jahat kepada Jessi. “Itu dia Jessi, aku memang tidak suka denganmu. Tapi itukan dulu, sekarang aku tau betapa baiknya dirimu yang sebenarnya. Kamu mau kan memaafkan aku?”ucap Elena. “Tentu saja Elena. Aku tidak akan dendam kepada siapapun yang menyakitiku.” Ucap  Jessi tulus. “Jessi, kenapa kamu selalu memeluk saputangan yang sama saat kamu sedih.” Tanya Elena bingung. “Oh... itu karena, saputanganku ini adalah satu-satunya kenang-kenangan dari orangtuaku. Dan aku tidak mau kehilangan saputangan ini.” Jawab Jessi.
Keesokan harinya, Jessi menunggu Elena di koridor sekolah. “Hallo Elena.” Sambut Jessi. “Jessi! Maaf ya Jes, aku harus buru-buru masuk kelas. Nanti kita ketemu di kantin aja ya.” Jawab Elena tergesa-gesa. “Ada apa ya? Kenapa Elena buru-buru sekali?” ucap Jessi dalam hati.
Saat istirahat, Jessi mencari Elena di Kantin, “Elena!” panggilnya. “Hai Jessi! Disini!” sahut Elena. “Jes, nanti temen-temenku mau kesini, gabung sama kita, boleh kan?” ucap Elena. “Hai! Itu dia! Temen-temenku udah dateng!” sahut Elena sambil menunjuk ke arah teman-temannya.
 Setelah mengobrol dan basa-basi... “Dapat!!!” teriak Elena sambil melompat ke dekat teman-temannya. Elena mengambil saputangan Jessi! “Saputanganku!” teriak Jessi. Jessi menangis... “kenapa kamu tega melakukan ini Elena? Yang aku tahu, kamu sahabatku!” ucap Jessi tersedu. “Hello...!!! Pikir baik-baik deh! Siapa juga yang mau temenan sama orang cacat kayak lo!” teriak Elena kasar. “Udah gak usah basa-basi lagi! Kita bakar aja saputangan ini!” sahut salah satu teman Elena. Saat api sudah mau mengenai saputangan Jessi... Tiba-tiba... Plarr... Sebuah tangan kecil melesat ke pipi Elena. Tangan itu milik Jessi. “Dengar baik-baik ya! Kalian boleh tumpahin makananku, ambil es krimku, tapi gak untuk ambil saputanganku! Aku gak akan biarin kalian lakukan hal ini tau! Aku juga punya harga diri!!!” ucap Jessi keras sambil merebut saputangannya, lalu pergi meninggalkan Elena dan teman-temannya yang terbengong-bengong melihat sikap Jessi yang sangat aneh dan tidak bisa di duga.
 “Tunggu!” teriak Elena. Jessi berhenti dan berbalik. “Apa maksud lo nampar-nampar gue?” ucap Elena marah. “Apa aku tidak boleh mengambil hak ku? Saputangan ini milikku dan kau merebutnya? Apa itu merupakan perbuatan yang baik? Berfikirlah dulu sebelum berbuat!” ucap Jessi tegas.
Seminggu telah berlalu, Minggu pagi, saat sedang berjalan-jalan di taman rumahnya, dia menemukan sebuah surat yang berisikan permintaan maaf Elena. Dan, sejak saat itu Jessi dan Elena benar-benar bersahabat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpiku untuk Bumiku

Love Story

Gara-gara Make-up